Barisan.co – Setahun lalu di dalam gerbong sebuah kereta, seorang edan sepur bertanya kepada saya sambil memakai sumpal headset, “Permisi, ini keretanya sudah sampai mana?” Saya kemudian menjawab dengan sopan. Tapi lalu dia minta jawaban saya diulang. Giliran saya tanya balik dia hendak turun di mana, eh, dia tidak menyahut.
Dan tiba-tiba datanglah wabah Covid-19, yang karenanya kita jadi sering zoom meeting. Saya percaya, banyak dari kita pernah zoom meeting dengan orang yang pondasi moralnya agak kacau seperti si edan sepur. Bedanya, kalau si edan sepur ditanya tidak menyahut, si psikopat zoom meeting (sebut saja demikian) bicara tanpa diminta. Atau lebih tepatnya, tidak awas bahwa mikrofonnya menyala. Ini hal yang sepele tapi mengganggu.
Saya tidak sedang membicarakan satu-dua orang tua gaptek, yang kesulitan mencari di mana letak tombol mute. Ini gejala umum dan terjadi tanpa mengenal umur. Sialnya di setiap zoom meeting, konsentrasi kita selalu sukses dikacaukan oleh suara-suara psikopat yang bocor. Bahkan tak jarang pemateri menghentikan paparannya gara-gara itu.
Jelas, dalam kasus semacam itu, mematikan mikrofon adalah perangai terbaik agar kita tidak termasuk golongan psikopat zoom meeting. Semua orang tahu itu adalah asas mendasar zoom meeting yang sebetulnya tidak perlu dituliskan. Karena, memang hanya itu satu-satunya. Tapi masih ada saja yang tidak insaf bahwa memencet tombol mute itu semudah meludah.
Atau jangan-jangan, persoalannya lebih dari sekadar sensibilitas prosedur pencet tombol? Mungkin. Kita tahu aktivitas zoom meeting adalah satu unsur yang aktif memberi bentuk kebudayaan di masa pandemi Covid-19. Dan kalau ada hal yang layak disebut ‘budaya baru di masa pandemi’, kita telah menghasilkan budaya permisif atas pelbagai penyelewengan selama beberapa bulan ini. Dengan istilah lebih lugas, kita tidak disiplin.
Tapi itu bukan hasil penelitian, sekadar pengamatan gampang-gampangan saja atas kebiasaan yang terasa dari kebanyakan orang. Lagipula, kedisplinan memang soal yang belum pernah selesai untuk ukuran bangsa kita.
Yang paling umum terjadi di masa pandemi kita tidak disiplin masker. Bahkan, orang-orang yang berada di kiblat negara (Istana) juga melakukan tingkah indisipliner yang sama. Ini tentu saja kacau dan tidak beres. Kita tahu bahwa yang namanya kiblat itu, sering kali, menuntun kehidupan kita lebih dari aktivitas-aktivitas yang kita lakukan dalam keseharian.
Dan melihat tren yang berkembang, cukup sulit mengatakan masalah mikrofon ini akan berakhir dalam waktu dekat. Sama dengan belum selesainya budaya kita bermasker. Ia masih ada di sana, mengikuti acara zoom meeting yang juga kita ikuti, mungkin dengan nama Oppo A12, atau Asus Zenfone 5, atau Samsung A6, dan siap mengeluarkan suara-suara aneh.