Barisan.co – Sabda Nabi Muhammad saw, sebagaimana diungkapkan Gus Baha, “Khusus ayat kursi saya mengambil di Kanzul ‘Arsy, gudang Arsy. Jika semua ayat-ayat al-Quran itu berada di dokumen umum, Lauhul Mahfuzh, tapi khusus ayat kursi dari gudangnya ‘Arsy, saking spesialnya.“
Kenapa sedemikian spesial? Tak lain tak bukan, ayat kursi khusus menerangjelaskan kedirian Allah. Karena secara umum, ayat-ayat al-Quran itu terkait kita, makhluk. Sementara ayat kursi, al-Baqarah ayat 255, spesial mengetengahkan Allah.
Sekali lagi, kata Nabi saw, “Saya punya ayat, yang bahkan mengambilnya dari Kanzul ‘Arsy, dan tidak ada nabi yang dikasih itu kecuali saya.”
“Sehingga tradisinya ulama,” terang Gus Baha kemudian, “semua anak cucu dan umatnya dilatih ayat kursi, untuk mengingat Allah. Kemudian dibikin metode tahlil, dan dibaca bersama, supaya hafal. Dan saya kalau mau tidur baca ayat kursi, karena memang Kanjeng Nabi juga tidak tidur sebelum membaca ayat kursi . Saking meresapi saya itu tidak bisa tidur sebelum baca ayat kursi, bahwa Allah itu betul-betul super, dan kita teramat lemah.”
Sungguh, betapa ayat kursi itu luar biasa. Tersebut bahwa Allah adalah dzat yang hidup. Karena yang membedakan Allah dengan selain Allah adalah soal kehidupan. Selain Allah berpotensi mati, sementara Allah tidak. Allah hidup dan menjadi tempat bergantung semua wujud selain-Nya. Allah adalah manajer kehidupan. Bahkan Ia adalah subjek satu-satunya, subjek yang tak pernah dapat diobjekkan. Ia tak bisa dibayangkan. Ia tak dapat diangankan. Sekira kita memaksa diri untuk mengangan-Nya, pastilah bukan Ia.
Maka jelas, dalam ayat kursi Ia bersifat Al-Hay, Yang Mahahidup. Hidup-Nya langgeng tak berakhir. Ia yang memberi dan mencabut kehidupan dari yang hidup. Selain Ia, hidup karena dianugerahi oleh-Nya hidup. Sementara Ia hidup bukan lantaran anugerah. Ia hidup dan tak akan mati, bahkan tidur atau kantuk pun tak menyentuh-Nya.
Allah bersifat Al-QayyumYang Maha Berdiri Sendiri. Sehingga, dalam tutur Gus Baha, Allah itu keren. “Hidup kalau bergantung pada yang lain, bergantung pada makhluk lain, itu tidak keren. Bergantung itu tidak keren.”
Allah berdiri sendiri, pertanda kesempurnaan, bahwa Ia sama sekali tak membutuhkan tempat, bahkan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk kesinambungan wujud-Nya. Malah Ia yang memberi wujud segala sesuatu. Ia yang memenuhi keberlangsungan segala sesuatu.
Kemudian, la ta’khudzuhu sinatuw wa la naumun, bahwa Ia tidak pernah mengantuk dan tak pernah tidur. Alhasil, dengan menghayati ayat tersebut, kita berasa nyaman. Bertuhan yang terus hidup, yang berdiri sendiri, yang tak pernah tersentuh kantuk, dan tidak tersentuh tidur.
Lahu ma fis-samawati wa ma fil-ardh, milik Allah semua yang di langit dan bumi. “Kita butuh air, butuh apa saja, dan itu milik Allah. Dan kita senang, alam semesta ini milik Allah, dzat yang tidak membutuhkan alam. Allah menciptakan air, Allah tak minum. Allah mencipta dan menumbuhkan padi, Allah tak makan. Ia membikin semuanya itu untuk kita, kita yang memanfaatkannya.” Begitu ungkap Gus Baha.
“Bayangkan!” lanjut sang ulama asal Rembang itu. “Jika alam semesta ini dimiliki oleh segelintir dari kita, pasti apa pun kita harus membelinya. Betapa repot akhirnya. Namun, berhubung alam semesta ini milik Allah, maka kita nyaman. Hidup kita jadi tenang bersama dzat yang super dermawan, super segalanya. Tidur kita pun nyenyak.”
Lalu, man dzal-ladzi yasfa’u ‘indahu illa bi-idznihi, tak satu pun yang mampu memberikan pertolongan kecuali atas izin-Nya. Lantaran Allah yang mencipta, konsekuensi logislah, bahwa yang punya otoritas syafa’at dan otoritas apa pun, itu berkat perkenan Allah.
Ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, Ia Mahatahu segala yang ada di depan dan yang di belakang mereka. Sehingga, betapa nyamanlah akhirnya kita, yang berasa selalu dalam pengawasan-Nya.
Gus Baha mendetailkan penjelasan, “Bagaimana jadinya sekira yang lemah macam kita ini tidak dalam pengawasan Allah. Sebagai misal, kita punya anak kecil. Tentu sang anak akan merasa tak nyaman bermain, selagi kita tak melihatnya. Karena dia tahu, ada hal-hal yang tak bisa ia capai, dan ia butuh kita untuk membantu mencapainya.
Jadi anak kecil itu suka bermain, dan senang jika kita perhatikan. Pun demikian kita, berasa bahagia, berada dalam kampung dunia, yang milik Allah, dan Ia benar-benar memperhatikan kita, bahkan mengerti kebutuhan kita.”
Lantas, wa la yuhithuna bisyai’im min ‘ilmihi illa bima sya, tidak ada yang dapat meraih sebagian ilmu-Nya kecuali atas izin-Nya. Betapa kita tak akan berilmu, kecuali dengan kadar yang dikehendaki Allah. Betapa kita ini akan selalu sebagai objek, memperoleh ilmu juga berkat Allah. Mendapat rezeki, juga karena Allah. Singkatnya, kita adalah makhluk, berstatus penerima. Sementara Allah adalah khalik, sang pemberi.
Berikut, wasi’a kursiyuhus samawati wal-ardh, singgasana-Nya mencakup langit dan bumi. Wa la ya’uduhu hifzuhuma wa huwal ‘aliyyul ‘azim, ketika alam semesta sedemikian besar ini, ternyata Allah tidak pernah lelah mengurusinya.
“Semenjak Adam hingga sekarang, matahari itu ajek begitu. Terbit dari sebelah timur, dan tenggelam di sebelah barat. Masih tetap aman hingga saat ini, belum ada kerusakan. Padahal PLN saja tidak bisa menjamin dalam setahun tak ada gangguan atau kerusakan jaringan listrik. Kalian tak pernah memikirkan hal ini bukan? Ya, memang bukan wali sih.” jelas Gus Baha, dibarengi serempak tawa dari jamaah.
Syahdan, ayat kursi benar-benar terambil dari dokumen khusus. Saking khususnya, kini, oleh sebagian umat, malah latah mengagungkannya sebagai azimat. Nah, kan!
Demikian.
Diskusi tentang post ini