Jika demikian halnya, apakah berarti amat dimungkinkan berbagai Undang-undang yang dengan mudah disahkan pada beberapa tahun terakhir terkait erat dengan kepentingan pengusaha?
Terhadap melemahnya kinerja parlemen, dimungkinkan analisis yang menyatakan bahwa pelemahan fungsi kontrol parlemen sejalan dengan terjadinya regresi atas demokrasi di Indonesia beberapa waktu terakhir.
Regresi demokrasi itu sendiri dirasakan semakin menguat karena ulah oligarki politik dan oligarki ekonomi yang telah membajak ruang-ruang demokrasi secara terang-terangan yang pada puncaknya ditandai dengan pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja.[3]
Komposisi 63% pengusaha pada anggota parlemen RI pastilah juga hasil dari menguatnya oligarki politik dan ekonomi yang menguasai sistem rekrutmen partai politik. Pada gilirannya kemudian memperlemah lembaga-lembaga demokrasi yang didirikan hasil dari reformasi 1998, seperti yang terjadi pada kasus pelemahan KPK.
Dengan demikian, sekali lagi rakyat harus bertanya-tanya ke mana lagi menggantungkan aspirasi dan kepentingan politik dalam iklim yang tidak kondusif bagi pemenuhan hak-hak konstitusional dan partisipasi politik warga masyarakat.
“Gestur” politik eksekutif dalam mengajukan rancangan undang-undang yang dipersoalkan masyarakat juga semakin menegaskan lemahnya posisi tawar publik dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang ditelurkan eksekutif.
Tidak lain akibat dari regresi demokrasi dan menguatnya represi negara yang menggunakan perangkat hukum di antaranya UU ITE, dan menyebabkan dipidananya sekian banyak warga masyarakat akibat penyampaian pendapat di ruang-ruang publik.
Hal itu semua adalah juga akibat dari semakin melemahnya perorganisasian sipil, dan pembajakan lanjutan terhadap demokrasi oleh tiga basis kepentingan elitis : oligarki elektoral (oikos), oligarki bisnis (idios), dan bentuk-bentuk populis dari fundamentalisme dan primordialisme non-demokratik (etnos).[4] Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi yang mengalami “pembajakan” seperti itu.
Terkait situasi rumit di atas menjelang musim pilpres dan pemilu legislatif 2024 mendatang, masih adakah ruang yang bisa diharapkan dari para calon presiden dan wakil presiden terpilih bagi perbaikan iklim demokrasi, penguatan kembali masyarakat sipil dan me-reposisi oligarki?
Jawabannya terasa jauh panggang dari api, untuk tidak mengatakan bahwa itu adalah hal yang mustahil. Kecuali rakyat menemukan sosok luarbiasa yang dipercaya akan memperbaiki situasi.
Ketidakmungkinan partisipasi publik dalam mencalonkan sendiri calon presiden dan calon wakil presiden telah dibatasi oleh aturan Undang-undang Pemilu No 7 tahun 2017 Pasal 222 yang membatasi peran serta publik. Pasal “heboh” tersebut, terkini telah 21 kali diajukan judicial review oleh kelompok masyarakat maupun individu untuk dibatalkan. Tetapi semua ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).[5] Tidak terkecuali pengajuan dari partai PKS dan DPD RI.
Bunyi dari pasal kontroversial itu sendiri menyatakan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Jadi untuk mencapai angka 20 % Presidential Treshold parpol yang akan mengusulkan seorang capres – cawapres dapat bergabung sesuai jumlah angka perolehan kursi yang dicapainya pada pemilu sebelumnya, hingga mencapai angka 20 % PT. Baru dapat mencalonkan seorang capres-cawapres.