Scroll untuk baca artikel
Blog

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Redaksi
×

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Sebarkan artikel ini

Dalam kasus kenaikan harga BBM baru-baru ini hanya satu partai yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara tegas berani bersikap menolak rencana kenaikan harga BBM karena akan lebih menyengsarakan rakyat yang tengah terhimpit kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi dunia paska krisis pandemi covid 19.

Dari berbagai pandangan atas kinerja fungsi pengawasan parlemen yang terbilang lemah, survei fixpoll Research and Strategic Consulting pada 16-27 Juli 2021, mengesahkan kekecewaan publik atas sikap pasif dan kinerja parlemen RI. Hasil jejak pendapat masyarakat atas kinerja MPR, DPR dan DPD tercatat rendah. Untuk MPR responden yang menyataan puas dan sangat puas atas kinerja MPR hanya 14% sedangkan yang tidak puas mencapai 28,4%.

Sementara responden yang menyatakan puas atas kinerja DPR RI juga hanya 15,1% dan yang tidak puas sebesar 39,8%. Untuk DPD, 13,4% menyatakan puas dan tidak puas sebesar 29,5%.

Mengapa sampai sedemikian rendahnya persepsi publik atas kinerja parlemen? Apakah ada korelasi dengan temuan Hamdi Muluk bahwa 63% angggota DPR RI adalah pengusaha, sehingga dikhawatirkan memiliki konflik kepentingan dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat? Pengusaha tertarik untuk menjadi anggota legislatif karena melihat ada “kesempatan”.[2]

Jika demikian halnya, apakah berarti amat dimungkinkan berbagai Undang-undang yang dengan mudah disahkan pada beberapa tahun terakhir terkait erat dengan kepentingan pengusaha?

Terhadap melemahnya kinerja parlemen, dimungkinkan analisis yang menyatakan bahwa pelemahan fungsi kontrol parlemen sejalan dengan terjadinya regresi atas demokrasi di Indonesia beberapa waktu terakhir.

Regresi demokrasi itu sendiri dirasakan semakin menguat karena ulah oligarki politik dan oligarki ekonomi yang telah membajak ruang-ruang demokrasi secara terang-terangan yang pada puncaknya ditandai dengan pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja.[3]

Komposisi 63% pengusaha pada anggota parlemen RI pastilah juga hasil dari menguatnya oligarki politik dan ekonomi yang menguasai sistem rekrutmen partai politik. Pada gilirannya kemudian memperlemah lembaga-lembaga demokrasi yang didirikan hasil dari reformasi 1998, seperti yang terjadi pada kasus pelemahan KPK.

Dengan demikian, sekali lagi rakyat harus bertanya-tanya ke mana lagi  menggantungkan aspirasi dan kepentingan politik dalam iklim yang tidak kondusif bagi pemenuhan hak-hak konstitusional dan partisipasi politik warga masyarakat.

“Gestur” politik eksekutif dalam mengajukan rancangan undang-undang yang dipersoalkan masyarakat juga semakin menegaskan lemahnya posisi tawar publik dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang ditelurkan eksekutif.