Scroll untuk baca artikel
Blog

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Redaksi
×

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Sebarkan artikel ini

Bagi PDIP sebagi ruling partij tentu tidak menjadi persoalan karena saat ini di parlemen telah meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR (hasil Pileg 2019). Artinya, persentase kursi DPR yang dimiliki PDIP sebesar 22,26%.

Kendala sistemik yang diciptakan untuk membatasi hak-hak konstitusional warga masyarakat terkait hak memilih dan dipilih secara langsung menjadi calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui partai politik, dipandang melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 6 tentang pemiihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Bergemingnya MK dalam menyikapi sekian banyak ajuan Judicial Review semakin menegaskan bahwa sistem politik tidak membuka ruang bagi partisipasi publik untuk mengajukan sendiri melalui jalur non partai atau jalur independen seorang calon presiden atau calon wakil presiden.

UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu juga tidak membuka peluang bagi calon perseorangan untuk maju menjadi calon preside/wapres kecuali bagi calon untuk anggota DPD.

Kebutuhan Terobosan Alternatif

Demokrasi, memang dipercaya sebagai sebuah sistem sosial yang dipandang memiliki risiko paling sedikit dibandingkan yang lain. Namun untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat dari proses demokrasi substansial haruslah mengedepankan aspek terbukanya partisipasi semua warga masyarakat dalam pelaksanaan sistem demokrasi.

Akan menjadi sia-sia, jika demokrasi kemudian dikendalikan oleh sekelompok kepentingan sehingga demokrasi tidak menjadi sebuah sistem yang dapat mengakomodasi semua kepentingan dan aspirasi masyarakat secara terbuka, tetapi hanya menjadi semacam “demokrasi artifisial” atau demokrasi prosedural untuk bisa disebut sebagai sebuah negara demokratis melalui sebuah pemilu, misalnya.

Demokrasi yang dibajak seperti yang diceritakan terdahulu, akan membangun sistem politik transaksional, jauh dari cita-cita pemberian hak hak konstitusional warga yang bebas merdeka, sejahtera dan adil. Hanya mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan negara yang dengan mudah akan menjadi elit politik.

Untuk itu, berkaca dari hambatan sistemik yang diciptakan oleh perangkat Undang-undang pemilu untuk menghalangi calon independen non partai maju sebagai calon presiden/wapres pada pemilu, maka perlu dipikirkan sebuah terobosan baru yang dapat membuka jalan bagi saluran hak hak konstitusional warga negara. Tentunya tanpa melalui partai politik yang ada.

Sebagai contoh misalnya saja Pertama, dari jumlah pemilih sah sebanyak 150 – 200 juta orang pemilih, maka apakah dimungkinkan jika ada figur yang mampu mengumpulkan dukungan KTP sah sampai 50 juta orang (25-33%), untuk maju menjadi seorang calon presiden? atau Kedua, apakah dimungkinkah jika ada figur yang mampu mengumpulkan dukungan dari 150 juta warga dengan KTP sah, untuk langsung menjadi seorang presiden?

Hal di atas adalah sebuah usulan pemikiran yang harus dikaji secara mendalam. Dengan harapan agar hak hak partisipasi dan konstitusional warga sesuai UUD 1845 dapat lebih terjamin.

Dengan sistem terbuka dan calon independen non partai seperti itu, diperkirakan jumlah pemilih akan melonjak drastis, terlebih jika calon yang diajukan memang mempunyai track record terpuji dan diakui sebagian besar kalangan.

Untuk menuju ke arah sana sebagai sebuah terobosan, pasti dibutuhkan upaya dan kerjasama semua pihak untuk mereview dan merevisi UU Pemilu, UU Parpol, MK dan lain-lain agar kebutuhan untuk sebuah transformasi sistem kepartaian Indonesia menjadi lebih akomodatif, terbuka, inovatif dan bertanggungjawab bagi kedaulatan rakyat.