BARISAN.CO – Sebuah jurnal yang diterbitkan pada Senin (31/5/2021) menemukan sepertiga kematian di dunia setiap tahunnya disebabkan oleh pemanasan global. Jurnal dari Nature Climate Change tersebut untuk menghitung biaya manusia yang diakibatkan dari perubahan iklim yang terjadi.
Para peneliti mengamati kematian di 732 kota di seluruh dunia sejak 1991 hingga 2018. Penelitian tersebut menyebut bahwa itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan korban perubahan iklim. Lebih banyak orang meninggal karena cuaca ekstrim yang diperburuk oleeh pemanasan global seperti badai, banjir dan kekeringan. Angka kematian akibat pemanasan global akan meningakat seiring meningkatnya suhu di bumi.
Menurut ahli epidemiolog Institute of Social and Preventive Medicine di Universitas Bern Swiss, Ana Vicedo-Cabrera mengatakan kematian akibat panas global sebenarnya dapat dicegah karena secara langsung, manusialah penyebabnya.
Persentase kematian tertinggi akibat panas yang disebabkan oleh perubahan iklim terjadi di kota-kota di Amerika Selatan.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Indonesia
Perubahan iklim memiliki dampak buruk yang luas. Indonesia salah satu negara yang akan mengalami dampak tersebut.
Dikutip dari climatelinks.org, perubahan iklim di tanah air berpotensi berdampak terhadap kesehatan manusia, pertanian, air, pesisir serta perikanan, dan hutan berserta keanekaragaman hayatinya. Indonesia paling rentan mengalami kenaikan permukaan laut. Diprediksi, kenaikan permukaan laut tersebut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil di pertengahan abad dan sekitar 5,9 juta penduduk akan terkena dampak banjir pesisir setiap tahunnya di tahun 2100.
Bukan hanya itu saja, Indonesia juga rentan dengan bencana yang disebabkan oleh iklim seperti kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, badai dan kekeringan yang telah memporak-porandakan infrastruktur serta mendegradasi ekosistem hutan dan pesisir yang menyebabkan hilangnya nyawa, harta benda, jasa ekosistem, serta mata pencaharian.
Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang menandatangani Paris Climate di tahun 2015 belum menunjukkan komitmen yang kuatnya. Indonesia nampak lebih fokus terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan mengejar target pengurangan emisi dalam melawan proyeksi perubahan iklim yang semakin mengerikan.
Dalam UU Omnibus Law, perusahaan tambang tidak diwajibkan memiliki izin resmi dan royalti batu bara 0 persen. Selain itu, kewajiban 30 persen hutan dihapus.
Indonesia merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar kelima di dunia. Kontibusi utama emisi di tanah air ialah deforestasi untuk produksi mintak sawit dan kebakaran hutan lahan gambut.
Mengutip dari climatechangenews.com, Climate Action Tracker memberikan peringkat iklim Indonesia sangat tidak memadai. Di tahun 2028, Indonesia berencana memasang 27 GW tenaga batu bara dan menjadi satu dari lima negara di dunia yang membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru di dunia tahun lalu.
Sejak awal pandemi, pemerintah menghabiskan sekitar US$6,78 miliar untuk mendukung bahan bakar fosil dan hanya US$240 juta untuk energi bersih. Pada Mei lalu, negara-negar yang tergabung dalam G7 sepakat menghentikan dukungan finansial untuk proyek batu bara di luar negeri pada akhir tahun ini sebagai langkah dalam menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil. Artinya, Indonesia akan kehilangan banyak dukungan dana terutama China akan terisolasi dan menghadapi lebih banyak tekanan ke depan untuk menghentikan dukungan yang dilakukannya.
Menurut peneliti iklim dan energi di Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari Isfandiari, Indonesia diperkirakan tidak akan meningkatkan pengurangan emisi 2030 menjelang pembicaraan iklim Cop26 di Glasgow, Inggris bulan November ini. Sebab di awal tahun, draf rencana yang diedarkan menunjukkan bahwa pemerintah bermaksud mempertahankan tujuannya saa ini yaitu mengurangi emisi sebesar sebesar 29 persen dibawah garis dasar bisnis seperti biasanya pada tahun 2030.
“Meningkatnya bencana iklim merupakan pesan yang jelas kepada pemerintah bahwa kita memerlukan komitmen yang lebih serius dan ambisius,” kata Adila.
Swiss Re Institute memperkirakan ekonomi di Asia paling terpukul akibat perubahan iklim, China berisiko kehilangan hampir 24 persen daei PDB-nya dalam skenario paling buruk, sementara AS akan merugi hampir 10 persen dan Eropa hampir 11 persen. Disebutkan juga jika mitigasi perubahan iklim membutuhkan tindakan menyeluruh dan perlu adanya pelaporan keuangan lembaga pemerintah secara berkala tentang rencananya dalam mencapai Perjanjian Paris serta target emisi nol bersih. [rif]
Diskusi tentang post ini