BARISAN.CO – Presiden Jokowi mewakili Pemerintah menyatakan mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa di masa lalu. Berdasarkan laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia, salah satu peristiwa yang masuk kategori pelanggaran HAM berat tersebut adalah Peristiwa Talangsari Lampung.
Peristiwa Talangsari merupakan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.
Tragedi Talangsari tak bisa dilepaskan dari penerapan asas tunggal Pancasila di era Orde Baru yang termanifestasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat wajib mengusung asas Pancasila. Hal tersebut juga berlaku untuk ormas keagamaan. Jika ormas tidak mengusung asas Pancasila maka ormas tersebut dianggap menganut ideologi terlarang yang akan membahayakan negara.
Kronologi Peristiwa Talangsari
Penerbitan UU terkait Asas Tunggal itu memicu polemik. Penolakan keras bahkan muncul dari sejumlah kelompok Islam. Mereka yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari, sebagian terlibat dalam gerakan menolak azas tunggal.
Pada akhir tahun 1988, terjadi eksodus sejumlah orang ke Dukuh Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur.
Menurut Abdul Syukur dalam Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (2001), orang-orang tersebut berniat membentuk sebuah desa yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang jadi keyakinan mereka.
Salah satu pentolan dari orang-orang ini adalah pimpinan pengajian bernama Nur Hidayat. Dia merupakan salah satu orang yang menolak azas tunggal. Ia juga terafiliasi dengan gerakan Usroh, sebuah kelompok muslim kecil di Lampung yang ditumpas pemerintah Orde Baru dengan dalih subversif.
Dalam kelompok Nur Hidayat, juga ada Warsidi, guru mengaji dari Lampung. Warsidi yang sudah dijadikan tokoh agama di Talangsari, kemudian dipilih sebagai pemimpin desa bentukan Nur Hidayat dan kawan-kawan.
Dituduh Gerakan Subversi
Akan tetapi, pemerintah Orde Baru menilai keberadaan desa yang dipimpin oleh Warsidi itu sebagai gerakan yang subversif.
Kelompok Warsidi bahkan dituding hendak menggulingkan pemerintahan dan mendirikan negara Islam. Pemerintah Orde Baru juga menuduh kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi secara terbuka dengan masyarakat umum.
Warsidi juga dianggap sering kali menyampaikan ceramah bernada ekstrem saat pengajian. Lantas, pada 5 Februari 1989, aparat militer melakukan penculikan terhadap beberapa pengikut kelompok Warsidi. Hal ini membuat khawatir para anggota komunitas tersebut.
Keesokan harinya, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Cihideung. Namun, rombongan ini diserang oleh kelompok Warsidi karena dikira hendak menangkap guru mengaji itu.
Dalam bentrokan tersebut, Kapten Sutiman dan Prajurit Satu Budi dari pihak militer tewas. Hal ini menyebabkan bentrokan bertambah panjang. Esok harinya, sekitar tengah malam 7 Februari 1989, pasukan militer yang dikomandoi Kolonel AM Hendropriyono, menyerbu kelompok Warsidi.
Majalah Tempo edisi 18 Februari 1989 melaporkan diduga sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas akibat serbuan itu. Di antara yang tewas termasuk Warsidi.
Korban Talangsari
Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.