Setiap K/L diwajibkan melakukan reviu ulang terhadap anggaran mereka secara mandiri sebelum menyampaikan hasilnya kepada Menteri Keuangan.
DPR turut dilibatkan dalam proses ini, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan Menteri Keuangan.
Jika sampai 14 Februari 2025 reviu anggaran belum disampaikan oleh K/L, maka Menkeu berhak menetapkan besaran pemotongan secara langsung.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti kemungkinan tantangan dalam implementasi kebijakan ini. Ia menilai bahwa pemangkasan belanja dalam skala besar membutuhkan harmonisasi dengan undang-undang agar tidak menimbulkan konflik hukum.
“Pemotongan sebesar Rp306,7 triliun seharusnya jelas arahnya, apakah akan dialokasikan kembali atau hanya sekadar menekan defisit. Jika dialokasikan ke program lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), maka harus melalui APBN Perubahan, bukan hanya Inpres atau aturan Menkeu,” jelas Awalil, Kamis (30/01/2025)
Hingga saat ini, pemerintah belum mengungkap secara rinci tujuan dari penghematan ini. Sejumlah pihak menduga bahwa dana yang dihemat akan dialokasikan untuk program unggulan pemerintahan Prabowo, seperti MBG.
Namun, Sri Mulyani menyatakan bahwa postur APBN 2025 tidak akan diubah. Hal ini berarti jika penghematan berhasil dilakukan, dana yang dipotong akan dialihkan ke belanja lain, bukan hanya untuk menekan defisit.
Sementara itu, situasi perekonomian global dan domestik juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. Target pendapatan negara tampak makin berat dicapai, terutama dengan tertahannya kenaikan tarif PPN dan prospek ekonomi yang belum membaik dari tahun sebelumnya.
Dalam kondisi seperti ini, penghematan dianggap sebagai langkah antisipasi terhadap ketidakpastian fiskal. Namun, tanpa kejelasan alokasi ulang dana yang dipangkas, kebijakan ini masih menyisakan tanda tanya besar bagi daerah dan sektor-sektor yang terdampak. []
Selengkapnya baca: