Scroll untuk baca artikel
Blog

Pencatat Berpikiran Besar

Redaksi
×

Pencatat Berpikiran Besar

Sebarkan artikel ini

Tidak ada interpretasi atas ayat itu, atau ide-nilai sebagai kejumbuhan pikirannya. Dengan mengutip ayat besar itu ia ingin sebagai penulis namanya ikut menjadi besar oleh kebesaran kalam semesta sebagai fatwanya.

Tidak ada pemikiran bagaimana, justru, kalam langit itu diturunkan ke bumi. Bagaimana tanggungjawab manusia di dunia. Sampai pun amanah yang disandang dengan segenap resiko. Termasuk resiko kesalahan dalam pertarungan menghadapi kekerasan hidup.

Bagaimana dalam peperangan hidup itu manusia tidak luput dari kesalahan. Sekalipun orang besar, pemimpin, pun ujar Soekarno tidak luput dari kesalahan sampai pun ketidak-gemingan dari dosa. Lantas..? Bukankah kesalahan dan dosa itu yang menguatkan manusia.

Lantas..? Barangkali muncul pikiran atas kemungkinan paling tidak mungkin, bisa jadi itulah hak dan tanggungjawab yang dibawa manusia sebagai bekal dalam pengadilan atas amanah duniawi di alam sana.

KAFHA juga menulis tentang dunia pewayangan. Kisah Mahabharata yang dikutip-katakan sebagai epos atau cerita tentang perjuangan dan kepahlawanan.

Jejak pertarungan lima Pandawa dan seratus Kurawa disorot sebagai sejarah manusia yang penuh intrik penguasa dan kekuasaan. Siapa Pandawa dan apa Kurawa tidak diletakkan pada pemikiran mengapa dan bagaimana.

Terutama penyadaran akan kesadaran Jawa — meski dikatakan Mahabharata berasal dari India — tentang dunia batin manusia Jawa. Misalnya soal mengapa dan bagaimana perjuangan Arjuna dalam dunia batinnya. Ialah, perjuangan menegakkan kepanditaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah.

Dunia batin Arjuna menggambarkan kesatriaan yang sudah purna dengan dirinya. Dan ia mewedarkan idee-nilai plus imajinasinya ke masyarakat desa. Sehingga desa mulai mengenal kehidupan baru yang lebih makjul.

Jadi peperangan Pandawa kontravita Kurawa dalam dunia batin Jawa sesungguhnya pertarungan di dalam diri setiap manusia. Ia mesti menjalankan pertarungan hak dan tanggungjawabnya sebagai manusia di tengah manusia di luar dirinya.

Sebagaimana yang digambarkan dalam Bharatayuda di dalam diri manusia, tidak ada kalah-menang. Yang ada kemenangan dan kekalahan yang bertarung terus menerus sepanjang hayat. Hingga ia menemukan sang maha tunggal, Tuhan, di dalam dirinya.

Pikiran kecil milik dan tanggungjawab manusia, yang besar semata hanya hak mutlak Tuhan.*