DALAM sejarahnya politik mengalami penggelembungan arti. Bukan sekadar negasi atas cara manusia untuk mengatasi persoalan bangsa-negara dan pada akhirnya rakyat. Tapi sekadar balon udara mengawang di udara.
Rakyat hanya melihat kekosongan, dan negara terus dipompa dengan pendahsyatan konsep melompong. Konsep adalah ketika bisa dipraktekkan bagi kesejahteraan masyarakat luas. Tapi kalau tidak bisa diimplementasikan ia bukanlah konsep. Dan kalau konsep direkayasa untuk sebagian kecil orang, bukankah konsep.
Bukan rahasia politik memang telah menjadi eklusif. Hanya demi kepentingan partai politik guna berebut kursi kekuasaan. Ketika kekuasaan menjadi pemilikan kekuasaan politik dan ekonomi (oligarki) itulah yang disebut kemenangan bagi partai politik, dan bukan kemenangan demi kesejahteraan rakyat.
Rakyat di sepanjang sejarahnya hanya menjadi pelengkap penderita. Tepatnya, alat yang harus bersedia terus menderita secara sosial dan ekonomi. Hanya menjadi simbol, yang tidak bisa diterjemahkan dalam konsep politik oligarki mana pun.
Sejak orde lama, orde baru hingga reformasi, persoalan yang ada adalah korupsi. Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang hakikatnya mencuri uang rakyat, pajak yang terus disetor untuk kejayaan penguasa politik. Anti KKN yang diteriakkan gerakan reformasi pun jebul sekadar gelembung.
Para ibu berkeluh sama, uang 50 ribu rupiah hanya bisa untuk belanja sekilo beras, sayur dan tempe. Itu pun bagi kalangan menengah. Bagi kalangan rakyat klas bawah, dengan penghasilan tidak menentu, apakah harus makan ketela dan sayur bayam. Pendidikan tidak perlu berpikir tinggi, masuk perguruan tinggi yang berbayar sangat mahal, tidak terjangkau tangan-tangan kecil dan lemah.
Pembangunan infra struktur meraksasa yang terus menggalak, makin membuat rakyat miskin hanya bisa termangu di pinggir. Berdiri tak berdaya, dan tak lagi punya harapan terhadap penguasa yang terus melakukan pendahsyatan politik.
Sampai kapan harapan atas reformasi bisa dipercaya. Jika pada kenyataannya ada perbedaan tajam antara revolusi dan reformasi. Jika revolusi, ingat revolusi 45, ibarat mencabut pohon seakar-akarnya. Maka, ingat ide dan konsep reformasi ala Hittler, reformasi ibarat mencabuti rumput di dalam hutan.
Penguasa terus meneriakkan reformasi plus kelangsungan KKN. Pembangunan sejak orde baru pun terus meraksasa dan melahap kesejahteraan rakyat. Politik, sebagaimana konsep kapitalisme-liberalisme, hanya sebagai alat kepentingan oligarki, terus melakukan pendahsyatan an-sich politik. Bagai balon udara, dan rakyat menyaksikan gelembung balon itu meletup di udara: plup!*