Oleh: Adib Achmadi
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim dalam pemberitaan yang dilansir Kompas.com (22/7/2021) mengatakan bahwa digitalisasi sekolah adalah salah satu cara meningkatkan kualitas sekolah. Dikatakan oleh Mas Menteri (Julukan Menteri Nadiem) digitalisasi adalah suatu keadaan yang tak bisa dihindarkan. Dengan kecanggihan teknologi ini akan memacu loncatan kualitas pendidikan.
Dengan perangkat digital ini guru bisa mengakses informasi maupun berbagai materi pelajaran yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Sedangkan bagi murid, mereka dapat berpartisipasi aktif secara dinamis mengikuti pelajaran di sekolah.
Di satu sisi pendapat Menteri Nadiem sangat relevan dengan kondisi saat ini. Selain karena faktor pandemi, digitalisasi sekolah menjadi kebutuhan pendidikan Abad 21. Media digital yang terhubung dengan internet memberikan akses informasi nyaris tak terbatas terhadap bermacam kebutuhan manusia khususnya bagi dunia pendidikan. Apa yang diperlukan sekolah, media digital memberikan solusi sesuai kebutuhan.
Untuk era-era mendatang, digitalisasi sekolah akan menjadi tren pendidikan. Model pengelolaan pendidikan tradisional seperti ceramah dalam kelas, murid mendengar, dll. cepat atau lambat akan ditinggalkan. Gagasan pendidikan masa depan bisa dimana saja, kapan saja tanpa terpaku dan terkonsentrasi di lingkungan sekolah.
Di sisi lain, pendapat Menteri Nadiem kurang menyentuh dan mengevaluasi aspek substansi pendidikan, yakni manusia. Digitalisasi sekolah sebetapapun canggihnya hanya bersifat instrumental. Manusia adalah subyek dan aktor utama pendidikan. Membangun manusia harus selalu menjadi isu penting kalau tidak boleh dibilang terpenting sejauh bicara pendidikan. Kegagalan membangun manusia menjadikan apapun bentuk instrumen kurang bernilai berguna.
Dunia pendidikan kita pernah mendapatkan pelajaran berharga tentang hal ini. Dari hasil Surve PISA (Programme International For Student Assessment) yang diselenggarakan oleh negara kerjasama ekonomi (OECD), posisi Indonesia masuk dalam jajaran terburuk diantara negara lain dalam hal literasi membaca. Sepanjang kurun 20 tahun, sejak Indonesia bergabung OECD tahun 2000, posisi Indonesia nyaris selalu dalam urutan terbawah. Padahal dari infrastruktur membaca, Indonesia tidak kalah dengan negara negara lainnya, bahkan negara maju.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan pendidikan kita? Mengapa siswa kita lemah dalam membaca? Mengapa infrastruktur literasi tidak mampu mendongkrak daya literasi siswa? Apa jadinya jika dunia pendidikan tanpa daya literasi siswa?
Agak susah dipahami jika dunia pendidikan tidak menumbuhkan literasi. Hal ini karena dunia pendidikan boleh dibilang identik dengan literasi itu sendiri. Atau dengan kata lain literasi adalah denyut nadi pendidikan. Tanpa daya literasi, pendidikan akan kehilangan ‘nyawa’. Maka wajar jika daya literasi rendah pasti akan berpengaruh pada bidang lainnya sebagaimana terbukti dalam Survei PISA dimana posisi Indonesia masuk dalam jajaran negara terburuk di dunia untuk katagori sain dan matematika.
Pada konteks ini infrastruktur litarasi yang berbentuk buku atau perpustakaan hanyalah bersifat instrumental. Sementara itu kita belum berhasil membangun daya baca sehingga buku atau perpustakaan tidak merangsang siswa untuk membaca.
Jika buku atau perpustakaan disebut sebagai literasi tradisional atau manual. Hal itu tak beda dengan litersi digital. Keduanya memiliki posisi yang sama, yakni sebagai perangkat instrumental. Digitalisasi sekolah hanyalah alat. Ia tak memiliki arti apa apa tanpa diduhului pembangunan mental pembelajar siswa.