Oleh: Syaiful Rozak*
Dalam konstitusi disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Indikator keberhasilan negara hukum itu bisa dilihat dari penegak hukumnya, apakah hukum sudah dijalankan dengan baik atau tidak, apakah hukum sudah mencerminkan keadilan atau tidak.
Mewujudkan negara hukum harus dibarengi dengan mewujudkan negara berkeadilan, karena hukum tidak bisa dipisahkan dengan keadilan. Dan aktor utama yang menegakkan keadilan adalah penegak hukum.
Hakim adalah wakil Tuhan di bumi, untuk itu ia harus bersikap adil. Keputusan seorang hakim akan merupakan cerminan apakah hukum itu dijalankan dengan adil atau justru sebaliknya.
Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia itu masih memprihatinkan. Hukum belum dijalankan secara ideal. Walaupun saya menyakini masih ada penegak hukum yang jujur dan adil. Disisi yang lain, ada saja pelanggaran hukum.
Saya sempat berpikir konyol seandainya tidak ada kejahatan, mungkin hukum itu tidak diperlukan. Jika tidak ada korupsi, maka KPK tidak diperlukan lagi. Faktanya tetap ada kejahatan dan korupsi tidak kunjung hilang di Indonesia.
Beberapa minggu yang lalu saja, ada dua Menteri Pemerintahan Jokowi yang diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus benih lobster dan bantuan sosial. Ironisnya korupsi itu dilakukan ditengah pandemi covid 19. Bayangkan bagaimana perasaan rakyat Indonesia melihat itu. Saya hanya bisa berkata dalam hati: semoga anda puas, nikmatilah uang hasil korupsi.
Harapan dan Kenyataan
Harapan rakyat terhadap penegakan hukum itu sederhana. Jalankan hukum dengan baik, tegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Hukum yang bersalah dan lindungi mereka yang benar. Harapan itu berada di pundak para penegak hukum.
Mohon para legislatif atapun penegak hukum, buatlah produk undang-undang yang baik, jalankan hukum dengan baik, bangun sistem yang baik guna mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, kerena itu amanah konstitusi.
Terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Kenyataan justeru berbicara lain. Penegakan hukum yang masih belum adil, masih tebang pilih. Ada praktik suap dan korup di lingkungan kepolisian dan peradilan.
Hal itu bisa dilihat dari praktek hukum masih cenderung berpihak pada yang kuat, suap hakim di pengadilan hingga kasus korupsi di berbagai sektor dan lembaga negara (eksekutif-legislatif-yudikatif). Meskipun demikian, kami tidak menafikan bahwa masih ada penegak hukum yang jujur dan adil.
Penegakan hukum di Indonesia bisa dikatakan belum memuaskan. Terlebih dalam kasus korupsi yang telah merusak kehidupan. Keadilan masih menjadi cita-cita hukum yang belum sepenuhnya bisa diwujudkan.
Artidjo Alkostar pernah mengungkapkan bahwa penegakan hukum merupakan kewibawaan suatu negara. Apabila penegakan hukum di suatu negara tidak bisa diciptakan, maka kewibawaan negara tersebut pun runtuh.
Menegakkan keadilan membutuhkan komitmen moral yang tinggi dari penegak hukumnya. Sebab tanpa didukung sikap demikian akan sangat rawan kemungkinan perilaku suap dan penyimpangan lainnya. Dalam hal ini Prof. Dr. Eddy Hiariej mengungkapkan beberapa faktor yang harus dimiliki untuk menegakan hukum, pertama adalah undang-undang, kedua profesionalisme penegak hukum.
Ketiga sarana dan prasarana hukum dan keempat adalah budaya hukum masyarakat. Selain dari pada faktor diatas juga perlu didukung oleh keseriusan pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah untuk menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.
*Syaiful Rozak, Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kudus