Oleh: Syaiful Rozak*
BARISAN.CO – Pada 08 Juni 2009, Prof. Satjipto Rahardjo menulis di harian kompas dengan tema “Berhukum dengan Nurani”. Guru Besar hukum Undip itu menyoroti praktek penegak hukum yang kurang melibatkan nurani dalam memutus perkara, seperti dalam kasus Prita Mulyasari dan Raju, anak dibawah umur yang dipenjarakan.
Berhukum dengan nurani tidak hanya masih relevan dalam konteks pengakkan hukum di Indonesia, akan tetapi perlu sebagai pengingat bahwa penegak hukum perlu melibatkan akal sehat dan nurani guna membangun hukum yang lebih baik dan manusiawi.
Adalah kasus Baiq Nuril (2019), seorang guru honorarium SMAN 7 Mataram NTB. Ia divonis 6 bulan penjara dan denda 500 juta oleh MA dalam kasus dugaan pelanggaran undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Upaya bandingnya ditolak oleh MA. Padahal Baiq Nuril adalah korban.
Hukum kata Satjipto Rahardjo bukan sekedar teks semata, tetapi terkait alam pikiran dan nurani manusia yang menjalankan. Orang ke pengadilan itu mencari keadilan, sedangkan hakim itu tidak sekedar membawa undang-undang, pasal-pasal, tetapi membawa nurani dan keadilan.
Kasus Baiq Nuril bisa menciderai rasa keadilan. Penafsiran hukum diperlukan untuk menggali teks-teks hukum, mencari sisi terdalam dari hukum dengan melibatkan nurani. Sehingga hukum ditafsirkan dalam rangka mewujudkan keadilan. Satjipto Rahardjo mengajak kita untuk mengubah konsep hukum sebagai teks semata dan menambahkan hukum sebagai perilaku.
Melibatkan Nurani
Seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara tidak hanya menegakkan hukum (undang-undang), akan tetapi keadilan. Seandainya teks hukum itu tidak bisa mencerminkan keadilan, maka diperlukan seorang penegak hukum yang berani mendobrak itu guna mewujudkan keadilan.
Apalah arti hukum itu bila tidak mencerminkan keadilan. Bismar Siregar pernah mengatakan: saya akan mendahulukan keadilan dari pada hukum.
Kita sepakat tak perlu mempertentangkan antara menegakkan teks undang-undang (hukum) dengan menegakkan keadilan. Namun dalam perkara yang unik dan dilematis sangat diperlukan pembacaan hukum yang lebih manusiawi dan itu melibatkan nurani.
Hukum tidak melulu berupa pasal-pasal yang bersifat kaku dan saklek. Dalam hal tertentu dibutuhkan pembacaan yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan sehingga melihat hukum menjadi lebih luas.
Jadi tidak bisa serta merta apabila ada orang tua yang mencuri uang anaknya untuk membeli rokok itu dikenai pasal pidana karena pencurian. Atau guru sekolah yang mencubit atau memukul murid dalam rangka mendidik supaya disiplin dan memiliki akhlak yang baik itu dikenai pidana karena penganiayaan.
Emang benar kasus pencurian itu diatur dalam KUHP dan penganiayaan anak dibawah umur diatur dalam UU Perlindungan Anak. Mencuri dan menganiaya adalah perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi penegak hukum, disini hakim diberi wewenang untuk menafsirkan dan menemukan hukum dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
Sehingga dikemudian hari apabila ada kasus serupa bisa diputuskan dengan lebih baik dan lebih manusiawi.
Menurut Satjipto Rahardjo hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Tugas hukum untuk melayani manusia guna menciptakan kedamaian, kebahagiaan dan keadilan. Kualitas suatu hukum ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.
Hukum tak akan berarti tanpa pembacaan dan aplikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum itu alatnya dan keadilan adalah tujuannya. Hukum yang dijalankan tanpa nurani akan kehilangan ruh, ia tidak hanya bisa menciderai keadilan, tetapi bisa bertentangan dengan semangat hukum itu sendiri.