Scroll untuk baca artikel
Risalah

Peneliti BRIN Prediksi Ramadhan Hanya 29 Hari, Bagaimana dengan Pandangan Islam?

Redaksi
×

Peneliti BRIN Prediksi Ramadhan Hanya 29 Hari, Bagaimana dengan Pandangan Islam?

Sebarkan artikel ini

“Kami puasa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari”.[4]

Memang asal diperintahkan melihat bulan atau hilal pada 29 hari, jika tidak melihat baru digenapkan 30 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[5]

Berpuasa dan Shalat Ied Mengikuti Pemerintah/penguasa yang Sah

Maka, tidak ada salahnya jika hanya berpuasa 29 hari dengan mengikuti pemerintah. Tidak perlu ditambah/di-qhada satu hari lagi setelah lebaran. Bahkan, kita juga diperintahkan berpuasa dan Ied mengikuti pemerintah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.

“Hari berpuasa adalah adalah hari di mana kalian semua berpuasa, dan hari ‘Idul Fithri kalian adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul Fitri, begitu juga hari ‘Idul Adha kalian adalah hari di mana kalian semua melakukan ‘Idul Adha.”[6]

Abul Hasan as-Sindi rahimahullah menjelaskan dalam sebuah hadits;

والظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل، وليس لهم التفرد فيها، بل الأمر فيها إلى الإمام والجماعة، ويجب على الآحاد اتباعهم للإمام والجماعة، وعلى هذا، فإذا رأى أحد الهلال، ورد الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور، ويجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك

“Zhahir hadits, maknanya menunjukkan bahwa perkara ini (ibadah jamaa’i seperti; hari raya, dll) bukanlah perkara yang bisa dilakukan oleh setiap individu. Tidak boleh bagi masing-masing pribadi untuk menyendiri dalam hal ini. Perkaranya kembali kepada Imam (pemimpin) dan jama’ah (kaum muslimin). Wajib bagi setiap individu untuk mengikuti imam dan jamaa’ah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal, dan Imam menolak persaksiannya, maka dia tidak boleh menentukan sikap sendiri, dan wajib bagi dia untuk mengikuti jama’ah dalam hal tersebut.”[7]

Muhammad ash-Shan’aniyrahimahullah berkata;

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ

“Dalam hadits tersebut, terdapat dalil yang menjadi dasar waktu hari raya itu adalah apa yang disepakati oleh masyarakat ditetapkan oleh pemerintah, dan orang yang mengaku telah melihat hilal secara menyendiri, tetap wajib bagi dia untuk mengikuti warga masyarakat”[8]