BARISAN.CO – Peneliti INDEF Muhammad Zulfikar Rahmat mengatakan Taliban dapat dengan cepat menguasai Afghanistan disebabkan oleh strategi perang Taliban. Legitimasi masyarakat yang tinggi, korupsi yang parah pada pemerintahan dan mundurnya pasukan AS. China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya AS, segera “merapat” ke pihak Taliban.
“Hal itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur OBOR nya melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur dan Eropa Barat. Di samping itu Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam (rare earth) bahan pembuat microchip dan teknologi mutakhir lainnya, yang diperkirakan bernilai 1 triliun dolar AS. Hal lain, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang,” sambungnya dalam Diskusi Publik INDEF dengan Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan, Jumat (3/9/2021).
Menurut Zulfikar Rahmat, hubungan Indonesia dengan Afghanistan berlangsung pada 2018-2019 ketika masih di bawah pendudukan Amerika Serikat. Tercatat RI pernah mengundang Mullah Abdul Ghani Barada dan perwakilan ulama Afghanistan ke Jakarta bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla dan MUI, setelah Jokowi berkunjung ke Afghanistan.
“Di samping itu paska perang ini Indonesia akan terlibat dalam rekonstruksi Afghanistan dan beberapa perusahaan telah didorong menjajaki ke Afghanistan,” tuturnya
Zulfikar Rahmat menambahkan Indonesia juga mendapat peluang ekonomi terbatas ke Afghnistan yang berada pada peringkat ke 127 negara tujuan ekspor Indonesia dengan total nilai ekspor sebesar 21,38 juta dolar AS pada 2020.
“Meskipun konribusi ekspor RI ke Afghanistan hanya 163,19 miliar dolar AS, namun tren pertumbuhan eskpor cukup positif mencapai 2,91% pada 2016 sd 2020. Di masa pandemi, ekspor RI mampu tumbuh positif 36,87% secara tahunan,” terangnya.
Tercatat surplus neraca perdagangan RI sebesar 20,89 juta dolar AS dengan Afghanistan. Ekspor produk farmasi RI juga tumbuh 365,69% dari US$ 507,7 ribu (Jan-Jun 2020) menjadi US$ 2,36 juta pada Jan-Jun 2021.
Kajian Geopolitik
Sementara itu, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Shiskha Prabawaningtyas menyampaikan secara kajian geopolitik, Afghanistan sebagai negara “Landlord” yang tak henti bergejolak. Juga dikeliingi oleh negara-negara yang juga relatif “bermasalah” seperti Iran di selatan, Pakistan sebagai tempat transit dan pemupukan ideologi Taliban pada awalnya, Turkmenistan dan tentu saja bertetangga dengan negara besar seperti Rusia dan China.
“Afghanistan juga lahan subur bagi cerita-cerita “proxywar” transmisi ideologi transnasional berkembang. Ketika Rusia mundur dari Afghanistan menandai berakhirnya perang dingin dan munculnya landasan baru yakni sovereignity atau kedaulatan negara yang sering kali menjadi konsep utama studi-studi Hubungan Internasional,” lanjutnya.
Menurut Shiskha Afghanistan juga tak ketinggalan menjadi dasar bagi pemahaman baru konsep makna kedaulatan negara. Begitu pula dengan konsep “failed state” atau negara gagal yang mengambil Afghanistan (selain Somalia dulu.
Shiskha mencontohkan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat juga menjadi dasar diskusi kedaulatan negara terkait praktik diplomasi, coersif diplomacy, dan international organization. Invasi AS ke Afghanistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban pada 2001 menandai kebijakan coersif diplomasi AS untuk mencari pelaku serangan 9/11 yang dianggap dilindungi oleh pemerintahan Taliban. “Coersif diplomacy AS ke Afghanistan kala itu bahkan mendapatkan semacam persetujuan dari badan dunia PBB dan dijadikan landasan bagi perang melawan terorisme di seluruh dunia,” pungkasnya.