Scroll untuk baca artikel
Blog

Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)

Redaksi
×

Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)

Sebarkan artikel ini

Oleh: M. Ridwan

SILANG pendapat para pejabat publik, politisi, pengamat dan masyarakat terkait rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang akan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar di 25 ruas jalan di Jakarta nampaknya akan terus berlanjut panjang.

Rencana penerapan ERP sendiri sudah masuk dalam materi Draf Rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang disusun oleh Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik. Perda ini selanjutnya akan dibahas bersama DPRD Jakarta untuk mendapatkan persetujuan.

Adanya ide penerapan ERP dipicu masalah klasik soal kemacetan yang tak kunjung terselesaikan. Jika ditelisik lebih jauh, problem kemacetan karena meningkatnya pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 21,75 juta unit, atau tumbuh 7,6 persen. Dengan proporsi sepeda motor mencapai 75,92 persen. Proporsi mobil mencapai 18,89 persen. Kemudian proporsi kendaraan jenis truk mencapai 3,61 persen. Sedangkan proporsi bus paling kecil, yakni sekitar 1,57 persen. (databoks, 8/8/22)

Melihat semakin meningkatnya pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun tidak diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan jalan menimbulkan kemacetan yang merugikan masyarakat baik dari aspek psikis, ekonomi, dan lingkungan.

Dari aspek psikis, masyarakat yang setiap hari dihadapkan dengan situasi kemacetan sedikit banyak akan berpengaruh kepada mental mereka sehingga merasa tidak happy karena kondisi yang tidak mood dan mengalami stres.

Ini juga didukung data BPS bahwa indeks kebahagiaan masyarakat Jakarta semakin tahun semakin rendah. Pada tahun 2017 indeks kebahagiaan masyarakat Jakarta 71,33 persen namun pada tahun 2021 turun menjadi 70,68 persen.

Sedangkan dari aspek ekonomi, kemacetan sangat mempengaruhi dunia usaha, bagaimana orang lebih lama di jalan dibandingkan beraktifitas di kantor atau tempat bekerja sehingga produktifitas dan efektifitas kerja menjadi terganggu, belum lagi borosnya konsumsi BBM kendaraan yang melebihi rata-rata kebutuhan normalnya berkendaraan sehingga beban biaya hidup semakin besar.

Menurut Pemprov DKI pada tahun 2020 dampak kemacetan di Jakarta dan sekitar Jabodetabek diperkirakan telah merugikan masyarakat hingga 100 triliun pertahun. (Detikfinance, 10/1/20)

Sedangkan dari aspek lingkungan, kemacetan juga berkontribusi menimbulkan polusi udara. Berdasarkan data IQAir Jakarta masuk sebagai kota dengan indeks kualitas udara terburuk di dunia. Seperti pada tanggal 22 Juni 2022, Kota Jakarta ditetapkan menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163 alias tidak sehat. Di bawahnya ada kota Beijing (159) dan Dhaka (157). (CNN Indonesia, 26/9/22)

Sebenarnya upaya menanggulangi kemacetan sudah dilakukan oleh Pemprov DKI dari masa ke masa, seperti menerapkan ganjil genap sebagai pengganti kebijakan 3 in 1 yang dianggap tidak efektif, kemudian menambah moda transportasi publik dengan membangun MRT, menambah armada TransJakarta, serta membangun jalan layang. Namun, semua upaya belum bisa hasil mengurai kemacetan di Jakarta.

Ironi Masyarakat Jakarta

Salah satu tujuan diterapkannya ERP untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi sehingga angka kemacetan bisa menurun. Berdasarkan materi draft raperda yang disusun Dishub DKI Jakarta ada beberapa katagori jenis kendaraan yang tidak dikenai ERP, yaitu: 1. Sepeda listrik; 2. Kendaraan bermotor umum plat kuning; 3. Kendaraan dinas operasional instansi pemerintah dan; 4. TNI Polri kecuali/selain berplat hitam; 5. Kendaraan korps diplomatik negara asing; 6. Kendaraan ambulans; 7. Kendaraan jenazah; 8. Kendaraan pemadam kebakaran.