COBA lihat reaksi siswa sekolah saat bel istirahat atau bel pulang berbunyi. Umumnya siswa akan terdengar riuh. Umumnya siswa akan bersorak gembira. Pun begitu juga suasananya saat siswa ada pengumuman liburan atau jadwal sekolah dipulangkan lebih awal.
Puncaknya adalah saat kelulusan tiba. Umumnya siswa menyambut gegap gempita dengan bermacam cara seperti konvoi kendaraan, corat coret baju dll.
Mengapa demikian? Ada kebebasan di luar sana. Ada pelepasan beban di luar pagar sekolah. Ada kegembiraan yang lebih menjanjikan di luar kelas.
Secara tidak langsung, riuh sorak siswa itu memberi pesan betapa sekolah tak membuat hati riang, penuh beban dan tekanan. Mungkin tak hanya siswanya, tapi juga gurunya. Mengajar atau mendidik, tak lagi mudah dilakukan dengan hati dan penuh dedikasi. Tuntutan guru begitu bertumpuk pada hal hal yang sifatnya adminiatratif atau mengejar target yang begitu ketat.
Pun dengan sekolah. Pihak sekolah harus memenuhi segala prasarat dan tuntutan pihak berwenang yang berderet deret jumlahnya. Belum lagi adanya pengawasan yang membuat sekolah tak leluasa ruang geraknya untuk berkreasi mandiri. Sekolah adalah kelindan rumit antara harapan besar, kerja mulia dan tuntutan kerja yang menyesakkan.
Pada posisi ini sekolah bak kantoran yang dipenuhi mekanisme birokrasi yang rijit. Fungsi pendidikan dan pendidik seperti bergeser menjadi ‘perusahaan’ dan ‘karyawan’. Hari-hari sekolah adalah hari bekerja dengan beban dan target yang harus dipenuhi.
Nuasa tekanan dan kepatuhan membuat sekolah hanya memiliki sedikit ruang gerak. Keberadaannya secara ekstrem seperti penjara yang membelenggu dengan bangunan besar tertutup rapat. Penghuninya seperti menanti saat saat mereka bebes di luar sekolah.
Bisa dibayangkan jika dinamika di sekolah berlangsung 5-7 jam sehari. Suasana psikologis macam apa yang harus ditanggung pihak sekolah, utamanya para siswa. Mereka menyangga beban dan tekanan dalam rentang hari, minggu, bulan dan tahun.
Sementara bagi siswa tak sampai di situ, beban yang harus ditanggung sampai di rumah ketika tugas tugas sekolah begitu menumpuk. Begitu luar biasa tekanan yang harus dihadapi anak anak kita.
Dalam suasana yang penuh belunggu, kehadiran Nadiem Makarim, Menteri pendidikan dan kebudayaan, bagai sosok penyelemat. Dia deklarasikan satu kebijakan yang ingin mengatasi permasalahan dunia pendidikan kita selama ini.
Kebijakan itu diberi nama Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM). Kata merdeka itu seperti memberi legitimasi bahwa dunia pendidikan kita selama ini tak merdeka.
Ada banyak dari turunan kebijakan itu hendak mengurai belenggu yang selama ini dihadapi sekolah seperti menyerhanakan aktifitas yang sifatnya administratif birokratif, memberi ruang bagi kreatifitas sekolah, memberi kesempatan belajar siswa lebih memilih pelajaran yang disukai dll.
Esensi MBKM, adalah dunia pendidikan lebih merdeka dalam menjalankan fungsinya. Mas Menteri seperti hendak menggapai mimpi Ki Hajar Dewantoro yang membuat sekolah bagai taman belajar yang menyenangkan dan dengan suasana penuh kebebasan.
Namun di sisi laih, kebijakan itu masih belum teruji. Sungguhkah MBKM akan mengantarkan pada kebijakan yang memerdekan dunia pendidikan? Waktu yang akan membuktikan.
Beberapa persolan besar masih menghadang Mas Menteri adalah, pertama gagasan MBKM masih bersifat parsial. Nadiem menjawab banyak masalah yang sifatnya simtom. Konstruksi besar pendidikan masih relatif utuh.
Kedua, kebijakan MBKM masih akan menghadapi kultur birokrasi maupun kultur pendidikan yang cenderung mapan dan menjadi zona nyaman. Mungkin pada level elit, kebijakan MBKM akan hingar bingar. Makin ke ke tengah dan kebawah akan cenderung stagnan.