Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Pentingnya Edukasi Seks Agar Perempuan Tidak Lagi Terbelenggu Pikiran Semu

Redaksi
×

Pentingnya Edukasi Seks Agar Perempuan Tidak Lagi Terbelenggu Pikiran Semu

Sebarkan artikel ini

Dengan adanya edukasi seks, tidak ada lagi pikiran bahwa membahas seks itu adalah hal yang menjijikkan.

BARISAN.CO – Beberapa waktu silam, saya ingat betul bertemu dengan seorang kawan. Dia tiba-tiba berkata, “Gue mau ngomongin sesuatu yang jorok”. Isi otak saya pun bertanya-tanya, apa yang dia ingin bicarakan sebenarnya.

“Soal seks,” lanjutnya.

Saya pun langsung menggaruk kepala bukan karena ketombe menebal dan mengganggu. Namun, lebih karena saya merasa aneh masih ada yang berpikir obrolan tentang seks adalah ‘sesuatu yang jorok’. Pertama, teman saya itu adalah perempuan, tentunya apa pun hal bisa kami bahas. Tidak perlu menganggap obrolan seks itu menjijikkan karena pada akhirnya kita akan melakukannya.

Kedua, jika isi kepala terdoktrin seks itu jorok, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana kelak akan melakukannya dengan pasangan kita.

Terlebih, beberapa hari sebelum saya bertemu dengannya, saya sempat menonton acara di Netflix: The Principle of Pleasure. Dari situ, saya sadar masih terbatasnya pengetahuan saya sendiri khususnya tentang seks. Kenapa? Karena kita tidak pernah membicarakannya sama sekali. Bahkan, dengan pasangan sekali pun kita terkadang merasa risih membahasnya.

Dari acara Netflix itu saya bahkan baru tahu bahwa G-spot itu tidak ada. Organ yang sering digadang-gadang bisa membuat perempuan menggila karena squirt.

G-spot Itu Tidak Ada

Penelitian dari Rumah Sakit Austin, Australia memeriksa tubuh dari 13 perempuan berusia 32 hingga 97 tahun dan tidak menemukan apa pun, kecuali lapisan dinding vagina dan saluran kencing di zona yang sering disebut G-spot. Pemimpin studi, Dr. Nathan Hoag mengatakan, kemungkinan sensasi menyenangkan yang dirasakan dengan merangsang area tersebut karena letaknya yang begitu dekat dengan klitoris.

Namun, ini tidak bisa disalahkan karena istilah G-spot telah ada sejak ratusan tahun silam. Dan, kamus sekelas Merriam-Webster pun memasukkan istilah itu.

Mengutip Cosmopolitan, tahun 2006, biopsi vagina perempuan tidak menghasilkan apa pun. Enam tahun setelahnya, sekelompok dokter meninjau setiap data yang diketahui dalam catatan dan tidak menemukan bukti jika G-spot itu ada. Pada tahun 2017, dalam studi postmortem terbaru dan terbesar hingga saat ini yang dilakukan terhadap 13 mayat masih belum menukan apa-apa.

Dan, sialnya, itu membuat 45 persen perempuan merasa frustasi, bingun, atau cemas saat mencoba mencari letak G-pot mereka.

Menurut ahli saraf yang mempelajari orgasme dan gairah seksual, Nicole Prause, dia tidak berpikir ada bukti G-spot adalah suatu tempat atau struktur dalam organ kewanitaan.

“Saya tidak pernah mengerti mengapa itu ditafsirkan sebagai organ seksual baru. Anda tidak dapat menstandarkan vagina, tidak ada konsistensi di seluruh perempuan tentang di mana tepatnya mengalami kesenangan,” kata Nicole.

Tentu memang, beberapa perempuan mungkin memiliki area di dalam vaginanya. Ada yang merasa tidak nyaman atau merasa ingin buang air kecil sedangkan yang lain tidak merasakan apa-apa karena memang tidak apa-apa di sana bagi mereka.

Sekali Lagi, Edukasi Seks Itu Penting

Saya pun lantas berpikir, ketika banyak di antara kita terlunta-lunta dan misinformasi tentang edukasi seks. Justru, sangat disayangkan, sosok Pak Ribut sempat menjadi kontroversi karena mengajar edukasi seks kepada anak-anak SD.

Padahal, melansir Montclair State University, sebuah penelitian menunjukkan, edukasi seks yang komprehensif harus dimulai sejak taman kanak-kanak.

“Studi ini menerangkan, pendidikan seks berkualitas dimulai sejak dini sesuai dengan perkembangan dan dibangun secara berurutan melalui sekolah menengah dan tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan fisik, mental, dan emosional anak muda. Sementara banyak orang berpikir tentang pendidikan seks hanya dalam hal kehamilan dan pencegahan PMS, temuan ini berbicara dampak yang lebih luas dari pendidikan seks berkualitas,” kata profesor Kesehatan Masyarakat di Negara Bagian Montclair, Eva Goldfarb.