Jejak PMK di Tanah Air
Mengutip penelitian Peneliti Utama di Badan Litbang Kementan RM Abdul Majid yang diterbitkan pada Juni 2020, PMK pertama kali ditemukan di Malang, Jawa Timur pada 1887. Kala itu, Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda.
Selanjutnya, penyakit menyebar ke daerah lainnya ke arah Timur sampai ke pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Laporan kejadiannya secara berturut-turut dimulai di Jakarta pada tahun 1889, Aceh tahun 1892, Medan dan Kalimantan tahun 1906, Sulawesi dan Medan pada tahun 1907.
Pada tahun 1907 tercatat 1.201 ternak di Pulau Jawa terserang PMK, yaitu di Jakarta, Cirebon, Priangan, Pasuruan, Besuki, Banyumas, Kedu, Malang, dan Madura. Pada saat itu kejadian PMK di luar pulau Jawa terbatas hanya di Sumatera Timur dan Sulawesi.
Lalu, mulai 1974 pemerintah melakukan ‘crash program’ vaksinasi untuk memberantas PMK dengan mengutamakan vaksinasi di daerah sumber ternak, yaitu Bali, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksin O1 BFS memperlihatkan hasil yang memuaskan karena pada tahun 1980 tidak ada lagi kasus PMK dilaporkan. Pada tahun berikutnya Bali dan Sulawesi Selatan berhasil dibebaskan.
Namun, PMK meletup kembali di Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang kemudian dengan cepat merambat ke wilayah Barat sampai ke Banten. Untuk daerah Jawa Timur, penyebaran PMK terbatas di daerah-daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
Dalam kurun waktu singkat PMK dilaporkan menyerang 13.987 ekor ternak sapi dan kerbau dengan angka kematian 1%. Beberapa ekor domba dan babi dilaporkan terjangkit PMK.
Upaya pemberantasan penyakit dilakukan melalui vaksinasi massal menggunakan virus PMK O java 83 mulai tahun 1983-1985. Dalam waktu tiga bulan setelah vaksinasi terakhir, PMK dapat dikendalikan bahkan tidak ada kasus lagi.
Organisasi Kesehatan Hewan Internasional atau Office International des Pizooties (OIE), sejak 1990, sejatinya Indonesia berstatus bebas PMK dengan status bebas tanpa vaksinasi. Sebuah capaian yang membanggakan.
Tergiur Impor Ternak Murah
Sayangnya capaian tersebut tidak dijaga dengan baik. Bahkan pengawasan terhadap ternak impor dikendorkan dengan alasan untuk mendapatkan impor ternak murah. Tanpa ada persyaratan lagi bahwa ternak impor harus berasal dari negara bebas PMK seperti yang selama ini dilakukan.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengizinkan adanya impor daging lembu dan sejenis lembu dari negara yang tidak bebas PMK.Salah satunya India.
Kebijakan pemerintah mengizinkan impor hasil peternakan dari negara yang belum bebas PMK (misalnya Brazil dan India) hanya karena harga lebih murah merupakan keputusan bunuh diri yang secara ekonomi besar dampaknya.
Daging kerbau maupun sapi di India memang murah. Sebab, di sana masyarakat tidak mengonsumsi daging sapi dan kerbau karena dianggap suci. Sehingga jumlah hewan berkuku katup itu pun melimpah.
Terbukti, setelah aturan tersebut berlaku, pemerintah melalui Bulog menjual daging kerbau asal India seharga Rp60 ribu per kilogram. Sedangkan harga daging sapi saat itu, yakni di bulan September 2016, menurut laman Kementerian Perdagangan dibanderol senilai Rp114.950 per kilogram.
Sejak saat itu, daging impor dari India pun semakin menggemuk dari tahun ke tahun, bahkan dapat mengalahkan impor daging dari Amerika Serikat dan Selandia Baru. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 impor daging India ialah sebanyak 76,3 ribu ton, atau senilai US$263 juta. [rif]