BARISAN.CO – Abdul Malik Gismar menyampaikan Evaluasi dan Rekomendasi Komunikasi Publik Pemerintah RI di Era Pandemi. Pemerintah telah mengakui buruknya komunikasi publik penanganan Covid-19 di Indonesia.
“Penting disampaikan agar pemerintah membangun komunikasi publik berdasarkan apa yang paling dibutuhkan masyarakat,” tuturnya dalam webinar Universitas Paramadina bersama Paramadina Public Policy Institute (PPP) tema Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia, Selasa (27/7/2021).
Abdul Malik mengatakan terdapat gelombang informasi, misinformasi, malinformasi dan disinformasi turut menyebabkan information overload yang dapat mengaburkan informasi penting.
“Karenanya, pemerintah perlu menyampaikan informasi yang clear dan definitive, konsisten, transparan melalui saluran resmi, kredibel dan lewat media outlet yang mapan. Pemerintah harus menjadi mercusuar, sumber komunikasi satu-satunya yang layak dipercaya dan menjadi panduan masyarakat,” terang Abdul.
Sementara itu menurut Menurut Abdul Rahman Ma’mun, jika dievaluasi, terdapat sikap terlalu percaya diri pemerintah saat awal Covid-19. Kurang mengedepankan sains, tidak percaya Pemda dan lainnya. Begitu pula dengan data dan informasi yang dikendalikan serta tidak transparan. Sistem tidak siap, data tidak akurat hingga menimbulkan kegelisahan. Yang paling serius, katup parisipasi justru tidak dibuka. Juga dengan keterbukaan terhadap kritik dan bukan dengan mengkriminalisasi pengkritik.
“Kegiatan vaksinasi juga harus dibuka ke publik secara transparan soal pengadaan, suplai, manfaat dan dampak sehingga tidak menimbulkan kecurigaan akibat adanya kepentingan yang tersembunyi,” imbuh Rahman.
A. Khoirul Umam menyampaikan Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan Publik Kontra-Pandemi di Indonesia. Menurut Khoirul Umam, kuatnya relasi Covid-19 dan religiusitas yang telah tumbuh kuat di masyarakat, justru kadang menimbulkan bukan sikap kritisisme sebagai respon atas kebijakan penanganan pandemi pemerintah.
“Hal itu justru tidak membuka ruang bagi pemerintah untuk tidak mendapat pengawasan yang memadai. Dari fakta yang ada terlihat jelas adanya mismanejemen yang serius dalam penanganan pandemi,” sambung Khoirul Umam
Menurut Khoirul Umam, salah satunya didorong oleh lemahnya basis kritisisme masyarakat untuk menyampaikan kritik atas kebijakan publik. Terlebih ketika munculnya tekanan dari pemerintah atas sikap-sikap kritisisme yang muncul.
Faktor 40 % level miskin masyarakat akar rumput yang mendapat bantuan sosial, menjadi salah tafsir seolah terdapat penanganan yang memadai. Padahal ada banyak masalah dalam penanganan pandemi.
Banyaknya kematian yang terjadi di luar rumah sakit dari warga yang terpapar covid 19, adalah bukti ketidakmampuan negara untuk melindungi warganya. Asumsi adanya skema terburuk 40 ribu angka positif covid 19 per hari saat ini menunjukkan Indonesia sudah tidak mampu menangani pandemi Covid 19 dengan baik. Hal itu akibat dari belum adanya kesamaan visi dan persepsi yang memadai antara pemerintah dan masyarakat.
Gonta ganti istilah dalam penanganan pandemi PSBB, PPKM mikro, PPKM tingkat 4 dan lain-lain berperan dalam meningkatkan overload informasi pada masyarakat. Tdak fokus, disertai rendahnya angka tracing dan testing yang ditingkahi ulah kepala daerah yang mengurangi angka terpapar.
Perlu diwaspadai daerah luar Jawa akan adanya tsunami korban covid 19 pada Agustus – Oktober 2021, setelah Jawa-Bali menjadi pusat penyebatan varian baru C19, padahal, kesiapan alkes dan faskes di Jawa-Bali relative lebih baik dibanding daerah di luar Jawa.