Scroll untuk baca artikel
Blog

Perampokan Di Ladang Rumput – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Perampokan Di Ladang Rumput – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

 “Jancoook!”

Bajingaaaan!”

ASUUUU!”  umpat Darto berulang-ulang dengan suaranya yang menggelegar bak petir menyambar.  Sembari berteriak-teriak demikian tangannya yang kurus itu dengan lincahnya mengayunkan aritnya ke rumput Tebon-tebonan yang ada di sekitarnya berdiri.  Tak ayal lagi rumput-rumput setinggi 3 meter itupun terjerembab tak karuan terkena sabetan aritnya. 

Rumput-rumput itu kocar-kacir bagai habis disergap angin puting beliung saja.  Darto seperti orang kesurupan.  Sinar matanya merah jalang.  Raut mukanya terlihat beringas.  Mulutnya terlihat menyeringai menunjukkan keempat gigi taringnya yang tajam.  Sungguh berbeda dengan Darto yang biasanya.  Jiwa Darto yang ramah, sabar serta nrimo sore itu entah telah menguap ke mana.

Eling Kang!  Nyebut Kang!  Istigfar Kang!” teriak Turmini bertubi-tubi demi melihat kemarahan Darto suaminya yang sudah setengah kesetanan tersebut.  Turmini berteriak-teriak tak kalah kerasnya demi ingin segera menyadarkan suaminya tersebut. 

Namun lubang telinga Darto bagai telah tersumbat.  Semakin Turmini berteriak mengingatkan agar Darto eling, sebanyak itu pula lelaki beranak tiga itu semakin kalap.  Aritnya kian ganas membabat rumput Tebon-tebonan yang telah ia tanam.  Untung saja Turmini tidak mendekat,  andai saja ia mendekati Darto, boleh jadi arit itu juga akan membabat dirinya.

Sementara itu di langit sebelah barat, telah berganti warna menjadi merah.  Jilatan warnanya seperti hendak menggambarkan kemarahan Darto.  Angin senja semilir membelah rumput Tebon-tebonan di ladang Darto.  Desaunya bagai menyuarakan bait-bait mantra senjakala. 

Dartopun akhirnya jatuh terkulai keletihan.  Tubuhnya tergolek begitu saja di atas rumpun rumput yang terbabat oleh aritnya barusan.  Keringat mengucur deras dari sekujur badannya.  Matanya terpejam.  Mulutnya terkatup rapat.  Nafasnya tak lagi memburu. 

Hati-hati sekali Turmini segera menjumput arit yang terpental jatuh tak jauh dari tubuh Darto.  Diamankannya benda berbahaya itu jauh dari jangkauan suaminya. 

Sedetik kemudian tangan Turmini telah terlihat sibuk mengelap muka Darto dengan selendangnya yang telah ia basahi dengan air kendi yang ia bawa.  Mulutnya terlihat berkomat-kamit membaca mantra.  Perempuan itu tampak dengan sabar mengelap tubuh suaminya yang basah oleh peluh keringat tersebut.

Ling eling sekeling keling.  Dudu sono keling.  Ling eling bakale bening,”  bisik Turmini berulang-ulang. 

Istigfar Kang!  Kabeh iku wis ginaris!  Awake dewe iki mung balung kere, dadi ya kudu nrimo ing pandum,” ucap Turmini lembut.  Ajaib!  Entah karena mantra Turmini atau entah karena apa, perlahan Darto membuka matanya.  Kini sorot matanya sudah tak seperti tadi.  Lelaki itupun segera duduk dan meminta maaf kepada Turmini.

“Aku khilaf Tur,” ucap Darto singkat.  Nada bicaranya seperti tak bertenaga sama sekali.

“Kita ini sudah ditakdirkan menjadi wong melarat.  Jangan heran kalau terus-terusan dibohongi oleh para pejabat.  Itu sudah bagian dari garis hidup kita Kang!  Jadi ya kudu eling,” sambung Turmini kembali sembari mengajak Darto pulang. 

Setengah senja telah menginjakkan kakinya di padang rumput milik Darto ketika sepasang suami istri itu berjalan menyusuri pematang ke arah perkampungan.  Di depan langkah Darto,Turmini terlihat menuntun beberapa dombanya.  Punggungnya terlihat menggendong beberapa buah terong dan kacang panjang.