Scroll untuk baca artikel
Kolom

Perayaan Kemerdekaan dan Narasi Nasionalisme Palsu

Redaksi
×

Perayaan Kemerdekaan dan Narasi Nasionalisme Palsu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Khairul Fahmi,
(Penggiat Literasi, berdomisili di Jakarta)

Alhamdulillah, sudah 79 tahun usia Republik ini sejak diproklamasikan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945.

Proklamasi kemerdekaan menandai berakhirnya penjajahan bangsa-bangsa lain atas bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki pemerintahan dan kemandirian politik.

Sebagai rasa syukur dan pengingat pemerintah, bangsa dan rakyat Indonesia menggelar perayaan kemerdekaan secara rutin. Kami orang di Jakarta menyebutnya dengan acara “Tujuhbelasan”.

Beda rakyat beda pemerintah dalam merayakan hari kemerdekaan. Rakyat merayakannya dengan menggelar aneka lomba. Kebanyakan lomba yang digelar bersifat hiburan. Namanya juga pesta rakyat. Lomba-lomba seperti ini sebenarnya banyak manfaatnya. Selain karena menghibur, lomba-lomba tersebut bisa digunakan untuk ajang menanamkan sportivitas, dengan catatan panitianya juga sportif.

Sisi positif lainnya, karena kebanyakan lomba bersifat fisik, maka ini juga bisa jadi momentum mengasah kekuatan fisik dan motorik kasar anak-anak, sesuatu yang sangat langka di era hape sekarang.
Yang tidak kalah penting tentu saja peringatan ini menjadi ajang konsolidasi, dan silaturrahmi warga. Buat para remaja, momen ini juga momen untuk melatih mengurus urusan masyarakat.

Walaw begitu banyak juga sisi kurang dari perayaan hari kemerdekaan ini. Dari sekian banyak kekurangannya, yang paling banyak disorot adalah kekonyolan di ajang-ajang lomba joget dan hiburan pada acara puncak peringatan tujuh belasan. Biasanya acara malam puncak itu diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ujungnya joget masal. Beginikah cara kita bersyukur atas anugerah kemerdekaan ? Mungkin para pahlawan sedang menangis di alam kubur sana menyaksikan kita saat ini berpesta pora.

Ironisnya, setelah perayaan hari kemerdekaan kita kembali lagi pada posisi awal : mengeluh kembali atas semua himpitan hidup, semua serba mahal dan serba susah. Lalu apa artinya kemerdekaan ? Apa pula arti jogat joget dan hura-hura kita itu ?

Habermas menyebut kondisi itu sebagai kesadaran palsu. Palsu seolah-olah kita mengerti tentang arti kemerdekaan. Seolah mengerti dengan simbol-simbol negara. Seolah-olah mengerti bahwa cara itu yang layak untuk perayaan kemerdekaan. Seolah-olah mengerti bahwa negara ini sudah merdeka, padahal nyatanya negara ini sudah masuk dalam perangkap penjajahan baru.

Kesadaran palsu ini tidak pelak lagi dibentuk oleh negara. Melalui tanyangan peringatan tujuh belas agustus di televisi pemerintah pemerintah sebenarnya sedang mengkampanyekan narasi besar tentang nasionalisme yang palsu. Ritual perayaan Hari Kemerdekaan yang digelar di Istana Merdeka seolah ingin menutupi perihal sebenarnya dari perilaku tidak nasionalisnya penyelenggara negara ini. Seolah-olah dengan mengibarkan bendera merah putih dan pembacaan teks proklamasi, pemerintah ini sudah nasionalis dan menjalankan amanat proklamasi. Padahal nyatanya hampir setiap saat pemerintah selalu memproduksi kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Pemerintah juga tidak absen untuk mejual kekayaan bangsa ini kepada bangsa lain, atau segelintir orang pemilik modal.

Perihal produksi narasi nasionalisme palsu oleh negara, rezim Jokowi punya cara yg unik yang tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya. Seingat saya dua tahun belakangan ini Jokowi merusak kekhusyu’an Peringatan Kemerdekaan di Istana Negara. Di tahun 2023 Jokowi merusak kekhusyuan Peringatan Kemerdekaan dengan joget dangdut koplo di Istana Negara. Acara joget di Istana ini seolah menginsipirasi masyarakat untuk juga menggelar joget serupa di masyarakat. Padahal tanpa dicontohkan pun masyarakat sudah begitu antusias joget masal di acara pentas 17 Agustus. Dan itu terbukti di wilayah perkampungan saya. Di gang kumuh yang tadinya tidak ada dangdutan, tahun 2023 yang lalu masyarakat tumpah ruah joget di gang sampai ralut malam.