Scroll untuk baca artikel
Risalah

Perjalanan Kreativitas Ebiet G Ade dan Telur Asin

Redaksi
×

Perjalanan Kreativitas Ebiet G Ade dan Telur Asin

Sebarkan artikel ini

Perlu dicatat, selama tinggal di rumah orang tua saya di Jalan Cendrawasih, Ebiet lebih memilih tidur di gudang belakang yang segera saya sulap menjadi kamar untuk kami berdua. Selama itu pula dia beberapa kali saya ajak ke Brebes, antara lain ke alun-alun dan ke kampung nelayan Tuel. Selalu setiap saat itu kami tak lupa membeli telur asin di Pasar Brebes. Tetapi setiap kali itu dia menunjukkan kekecewaannya kepada saya.

Pasalnya telur asin yang ini kali tidak sesuai dengan harapannya, kuningnya tidak masir berminyak! Mungkin karena kami tidak seahli Habib Lutfi dalam memilih telur asin. Dan untuk menutupi kekecewaannya Ebiet mulai bertanya tentang mengapa dan bagaimana Brebes. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut saya pun mengemukakan, tentang mitos Joko Poleng.

Kisah tentang seorang Pangeran, yang bisa mengubah diri sebagai ular setelah mengenakan selongsong ular temuannya. Kisah ini begitu diyakini oleh masyarakat Brebes, tanpa ada pengejawabantahan mitos di baliknya.

Saat itu kepada Ebiet saya katakan, kisah itu sebenarnya memiliki kandungan mitos spiritual agraris. Ialah agar masyarakat Brebes tidak membunuh ular, karena ular adalah predator bagi hama pertanian dan perkebunan.

Kabupaten Brebes memiliki wilayah luas, kedua setelah Kabupaten Semarang dan Cilacap. Bahkan memiliki kewilayahan lengkap, terdiri dari tiga wilayah agraris yang sekaligus mencerminkan karakter masing-masing masyarakatnya.

Pertama wilayah pantai, yang membuat peka bagi kehidupan nelayan dalam nenarung nasib di tengah laut. Kedua wilayah tengah, yang membuat masyarakat petaninya suka akan pesta karena kebiasaan berkaul selamatan setelah panen tiba. Ketiga wilayah gunung, yang membuat hidup masyarakatnya suka bergotongroyong karena tanahnya yang berbukit dan berjurang.

Sebenarnyalah, ketiga karakter ini modal dasar bagi etos kerja masyarakat Brebes. Terbukti istilah warteg di Jakarta sebenarnya lebih tepat disebut warbres, karena pedagangnya berasal dari Brebes.

Entah terpengaruh oleh kisah yang menyelubungi mitos kerja ini, Ebiet tampak mulai banyak mengurung diri di dalam kamar. Ini membuat saya ingat tentang kepercayaan masyarakat Brebes, yang meyakini bahwa satu kamar di rumah dinas Bupati Brebes adalah kamar Sang Joko Poleng.

Apakah Ebiet sedang bertapa sebagaimana Sang Pangeran, ataukah sedang mencipta lagu. Sehingga selama berhari-hari Ebiet sering saya tinggalkan di dalam kamar, sementara saya ngelayab kemana-mana. Hal ini juga membuat tandatanya Ibu saya, tentang teman puteranya yang bagai ular mlungker di dalam liang.