Scroll untuk baca artikel
Risalah

Perjalanan Kreativitas Ebiet G Ade dan Telur Asin

Redaksi
×

Perjalanan Kreativitas Ebiet G Ade dan Telur Asin

Sebarkan artikel ini

Saat itu kepada Ebiet saya katakan, kisah itu sebenarnya memiliki kandungan mitos spiritual agraris. Ialah agar masyarakat Brebes tidak membunuh ular, karena ular adalah predator bagi hama pertanian dan perkebunan.

Kabupaten Brebes memiliki wilayah luas, kedua setelah Kabupaten Semarang dan Cilacap. Bahkan memiliki kewilayahan lengkap, terdiri dari tiga wilayah agraris yang sekaligus mencerminkan karakter masing-masing masyarakatnya.

Pertama wilayah pantai, yang membuat peka bagi kehidupan nelayan dalam nenarung nasib di tengah laut. Kedua wilayah tengah, yang membuat masyarakat petaninya suka akan pesta karena kebiasaan berkaul selamatan setelah panen tiba. Ketiga wilayah gunung, yang membuat hidup masyarakatnya suka bergotongroyong karena tanahnya yang berbukit dan berjurang.

Sebenarnyalah, ketiga karakter ini modal dasar bagi etos kerja masyarakat Brebes. Terbukti istilah warteg di Jakarta sebenarnya lebih tepat disebut warbres, karena pedagangnya berasal dari Brebes.

Entah terpengaruh oleh kisah yang menyelubungi mitos kerja ini, Ebiet tampak mulai banyak mengurung diri di dalam kamar. Ini membuat saya ingat tentang kepercayaan masyarakat Brebes, yang meyakini bahwa satu kamar di rumah dinas Bupati Brebes adalah kamar Sang Joko Poleng.

Apakah Ebiet sedang bertapa sebagaimana Sang Pangeran, ataukah sedang mencipta lagu. Sehingga selama berhari-hari Ebiet sering saya tinggalkan di dalam kamar, sementara saya ngelayab kemana-mana. Hal ini juga membuat tandatanya Ibu saya, tentang teman puteranya yang bagai ular mlungker di dalam liang.

Saat itu lagu-lagu ciptaan Ebiet sudah cukup banyak, mencapai jumlah sepuluhan judul lagu. Hanya di malam hari, sesekali orang tua saya mendengar petikan gitar dan lantunan lagu yang menyayat.

Dan rahasia bertapanya Ebiet pun terbuka, saat satu hari saya pulang dan menemuinya di kamar. Saya lihat Ebiet sedang merancang sendiri cover kaset, yang bagi saya sangat surprise. Betapa selama di Yogya dan di Pekalongan Ebiet mencipta lagu-lagunya, dan di Tegal ia mulai mempunyai keinginan untuk merekam lagu-lagunya.

Suatu perjalanan yang ditinjau dari elan mitos menjadi etos, adalah spirit kemandirian dari kreativitas menjadi produktivitas. Dan saya meyakini betul, bahwa semangat hidup setiap anak manusia sangat dipengaruhi kehidupan lingkungannya.

Pantura membuat Ebiet terpacu kreativitasnya, dan Brebes dengan mitos kerja masyarakatnya membuat ia mulai terobsesi ‘pasar’. Dan siapa bisa mengira bahwa kenyataan mitos menjadi etos ini, bermula dari masirnya telur asin Brebes. [Luk]