Scroll untuk baca artikel
Blog

Perjalanan Spiritual Mengenal Sufisme

Redaksi
×

Perjalanan Spiritual Mengenal Sufisme

Sebarkan artikel ini

Belajar sufi itu berbeda dengan ketiga pendekatan di atas. Metode yang digunakan berupa praktik langsung, dengan cara menjalani agar mengalami. Dengan menjalani dan mengalami, maka ia semacam dibimbing untuk menyibak tirai-tirai realitas kebenaran yang tersembunyi.

Tersingkapnya realitas kebenaran inilah yang membuka pengalaman pribadi yang terhubung langsung dengan Tuhan. Pendekatan ini dalam kebudayaan jawa dikenal dengan ‘laku’.

Pada tahun 2007, saya bertemu dengan seseorang dan melakukan serangkaian diskusi, muzakarah, tukar pemikiran dan pengalaman, yang akhirnya membawa pada seorang guru.

‘Mursyid’, begitu istilah yang banyak digunakan orang. Sekitar bulan Marer 2007, saya memutuskan untuk menuntut dan mengambil amalan itu. “Amalan yang tidak berhuruf dan bersuara.” Begitulah dibilang. Saya kemudian dibaiat.

Dalam sejarahnya amalan ini, diperoleh guru saya dari ayahnya, Ahmad Darabbi. Diturunkan kepada guru saya, Muhammad Hatta Darabbi, dan diamalkan sejak usia baligh, sekitar 17 tahun. Kemudian oleh ayahnya, disuruh menyempurnakan amalannya di Besilam.

Besilam merupakan sebuah Kampung di daerah Kabupaten Langkat, Sumut. Merupakan pusat dari Tarekat Naqsabandy di wilayah Sumatera. Di Besilam bertemu dengan Tuan Guru, Syekh Fakih Tambah, pemimpin Tharekat Naqsabandy di Besilam waktu itu. Beliau merupakan keturunan langsung dari Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan, murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Mekah.

Selain ketekunan dalam beramal, aspek leluhur atau keturunan rupanya juga berperan penting bagi perjalanan seseorang. Pernah suatu kali Tuan Guru bilang kepada kami, para murid, “Mereka yang tidak memiliki jalur leluhur dan mengamalkan amalan ini, biasanya dia tidak akan bisa berjalan sampai ujung.”

Pada suatu kali, sewaktu pulang kampung, daerah Boyolali, saya pergi ke daerah Pengging, ke masjid tua di sana dan salat dua rekaat. Pada saat itu, saya didatangi sosok bersorban dan berjubah putih. Mirip pakaian pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol. Saya sendiri tidak mengenal sosok tersebut.

Rupanya sejak itu saya sering didatangi, namun hanya diam saja, dan tidak mengenalkan diri. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sekitar 4 atau 5 tahunan. Pada akhirnya ada suara yang mengatakan bahwa itu adalah leluhur saya. Mbah Kyai Imam Arif, begitulah namanya.

Kemudian ditelusurilah siapa sebenarnya beliau. Pada akhirnya, saya menemukan jejaknya, beliau adalah guru dari Pangeran Diponegoro, ayah dari Kyai Mojo. Rupanya beliau adalah leluhur yang ke-8.

Pada akhirnya saya mendapatkan pembenaran, bahwa leluhur saya rupanya ada yang mengambil amalan yang sama dengan yang saya amalkan saat ini, yaitu dari mbah Kyai Imam Arif. Dalam tradisi tarekat, apabila seorang pejalan atau salik itu beramal dengan benar, maka para leluhur itu akan mendatangi, terutama para leluhur yang telah mengambil jalan sama. []