Oleh: Iswanto
Banyak pengertian dan definisi tentang sufi. Hal ini sudah dibahas secara panjang lebar dalam studi akademis. Namun saya sendiri tidak menggunakan pengertian itu, meskipun sedikit banyak tahu akan hal itu, karena saya pernah mendapatkan pelajaran akan tentang sufi secara akademis di kampus IAIN Yogyakarta.
Orang umum biasa menyebut laku sufi sebagai tharekat. Akan tetapi, saya memilih mengartikan sufi sebagai ‘orang yang cerah pandangannya kepada Allah’. Dikarenakan pandangannya telah cerah, maka perilakunya akan terbimbing. Terbimbing oleh cahaya yang terang itu.
Ingat, Allah itu adalah Cahaya diatas Cahaya, ‘Nur ‘ala Nur’. Dengan cahaya yang terang itulah yang menjadikan ia tahu, “mana yang menjadikan, dan mana yang dijadikan”, sehingga ia tidak akan pernah salah dalam penghadapan.
Dengan begitu, ia tahu bagaimana semestinya berhubungan dengan Allah, hablum minallah, berupa pengabdian yang murni. Dan berhubungan dengan sesamanya, hablum minannas, berkasih sayang kepada sesama yang dijadikan. Maka, baru benarlah ia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu memakmurkan bumi.
Apabila seseorang itu buta ia kepada Tuhannya, niscaya hidupnya akan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Maka, sifat kebinatangan akan menjadi perangai dan watak dalam kehidupanya. Sifat tamak, rakus, iri, dengki, sombong, dan sifat buruk lainnya, akan menjadi pakaiannya.
Dalam khazanah Jawa, itu biasa disebut sebagai ‘diyu’ yaitu watak raksasa di dalam pewayangan.
Diyu digambarkan dengan watak yang buas, rakus, dan mau menang sendiri. Inilah sumber malapetaka di bumi. Jangan heran, jika watak ini yang menguasai sebagian besar anak manusia, maka penindasan, perampasan hak atas sesamanya, dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan akan menjadi pentas harian yang bisa disaksikan siapa saja.
Pada saat itu, nurani telah mati. Terkubur di dalam kegelapan hasrat dan ambisi bermegah-megahan dan menumpuk-numpuk harta. Itulah wujud nyata dunia kegelapan.
Tentang Belajar & Sufisme
Umumnya kita mengenal ada 3 jenis model pembelajaran. Pertama, belajar dengan lebih mengedepankan akal pikiran. Model belajar yang lebih menitik-beratkan pada mengembangkan penalaran dan pola pikir, kerangka analisis, dan logika. Menonjolkan kognitif.
Kedua, pengajaran yang lebih mengedepankan aspek skill atau keterampilan. Pendekatannya banyak menggunakan pelatihan dan praktik kangsung. Aspek motorik yang lebih ditonjolkan.
Ketiga, pengajaran yang lebih mengedepankan aspek ‘rasa’. Lebih banyak menguraikan aspek keindahan, etika, dan estetika. Dalam model pengajaran ini, aspek afektif yang lebih ditonjokkan.
Belajar sufi itu berbeda dengan ketiga pendekatan di atas. Metode yang digunakan berupa praktik langsung, dengan cara menjalani agar mengalami. Dengan menjalani dan mengalami, maka ia semacam dibimbing untuk menyibak tirai-tirai realitas kebenaran yang tersembunyi.
Tersingkapnya realitas kebenaran inilah yang membuka pengalaman pribadi yang terhubung langsung dengan Tuhan. Pendekatan ini dalam kebudayaan jawa dikenal dengan ‘laku’.
Pada tahun 2007, saya bertemu dengan seseorang dan melakukan serangkaian diskusi, muzakarah, tukar pemikiran dan pengalaman, yang akhirnya membawa pada seorang guru.
‘Mursyid’, begitu istilah yang banyak digunakan orang. Sekitar bulan Marer 2007, saya memutuskan untuk menuntut dan mengambil amalan itu. “Amalan yang tidak berhuruf dan bersuara.” Begitulah dibilang. Saya kemudian dibaiat.
Dalam sejarahnya amalan ini, diperoleh guru saya dari ayahnya, Ahmad Darabbi. Diturunkan kepada guru saya, Muhammad Hatta Darabbi, dan diamalkan sejak usia baligh, sekitar 17 tahun. Kemudian oleh ayahnya, disuruh menyempurnakan amalannya di Besilam.