HARI-hariku menjemukan. Pagi-pagi beres-beres rumah, sarapan, mempersiapkan berkas-berkas tugas, kemudian berangkat kerja. Sampai di rumah malam hari, membuat laporan kerja dan berakhir tidur. Esoknya terulang kembali rutinitas membosankan itu.
Tapi Minggu ini ada hal yang membuat aneh. Ada pesan ponsel masuk yang selalu mengganggu. Beberapa hari hal ini tak kutanggapi karena pasti hanya salah sambung belaka pada awalnya.
Pesan itu sms, dan pesan pribadi inbox akun sosmed-ku. Mulanya hanya sebuah salam perkenalan. Dan lambat laun berisi sebuah curahan hati. Kemudian seakan memberi suatu nasihat dan menanyakan kabar keadaan.
Anehnya dari sejak awal, tak pernah jelas tahu siapa gerangan orang ini. Cowok atau cewekkah? Mungkin saja dia seorang cowok, terlihat dari gaya bahasanya. Mungkin juga ini adalah seorang penulis. Karena banyak dari temanku itu merupakan anggota suatu grup kepenulisan.
Dia pun mengirim ke dalam pesan pribadi lagi. Dengan masih tak mau menanggapinya, kudiam, dan hanya membacanya saja. Pasti dia tahu dari pemberitahuan akunnya. Itulah yang membuat orang ini semakin sering untuk mengirim.
Aku pun semakin penasaran, siapa gerangan orang ini? Dari nama profil, sangat tak jelas identitasnya. Karena hanya sebuah nama samaran dan bergambar animasi.
Kucoba telusuri dari kronologi pertemanan. Dia banyak berteman dengan teman-teman sesama penulis. Dan juga sering posting ke dalam grupku. Berpuisi, cerpen, dan lain sebagainya. Tapi tetap saja tak jelas siapa jati dirinya. Membuatku pusing dan penasaran!
Pada puncaknya, aku jengkel bosan oleh pesan pribadi dan sms-nya. Kemudian kutanggapi dengan membalas untuk menanyakan apa maunya. Sial! Dia hanya membalas dengan tertawa saja. Kumatikanlah ponsel ini karena tak bisa menahan emosi.
Akun sosmed memang memberitahukan nomer ponselku. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membukanya. Mungkinkah orang terdekat? Atau teman karib? Sial! Aku masih belum juga tahu. Namun kecurigaanku mengarah kepada seseorang diakah pelakunya?
“Mas Bro, ngaku saja deh! Pasti Mas yang selalu kirim pesan pribadi kepadaku, ya?” tanyaku pada akun Kangmas Aku Jomblo.
“Pesan pribadi apaan, Jeng Iiet?” balasnya padaku.
“Kangmas itu yang selalu curhat dan merayuku lewat pesan pribadi! Pasti Kangmas pakai akun lain, ya? Hayao ngaku!” tulisku.
“Merayu apaan? Ah …, Dek Iiet ada-ada saja, aku ni sudah punya pacar, Dek! Dan masih setia padanya yang kuliah di Jakarta sana. Pasti Dek Iiet salah sambung neh! Aku memang suka komentar ke postingan Adek, tapi itu hanya sekedar silaturahmi saja, gak lebih dari itu!” kata Kangmas Aku Jomblo ngotot.
“Oh …, maaf Kangmas, sekali lagi maaf, karena saat ini saya sedang diteror sama orang yang nggak jelas lewat Fb dan sms. Ingin memastikan saja dengan tanggapan Kangmas jika ditanya demikian, maaf, ya?” tulisku seraya meminta maaf.
“Baiklah, Iiet. Lain kali tanya yang jelas dulu, jangan main tabrak saja, emang becak nabrak gerobak bakso? Hehehe … ya sudah, yang hati- hati ya?” balas Kangmas Aku Jomblo.
Sejak saat itu, aku selalu berhati-hati menanyakan kepada orang tentang maksud pertanyaanku yang bernada investigasi. Aku tak mau malu lagi menanyakan hal ini. Bisa-bisa salah lagi.
Pesan singkat itu datang lagi ke ponselku.
“Halo sayang, bagaimana kabarmu? Sudah makan? Hati-hati di jalan, ya! Ingat tugas besok ketemu Pak Boss, upsss …!” kata pesan singkat orang itu.
Aneh, kenapa dia tahu aku akan bertemu pimpinan di kantor? Siapa sebenarnya gerangan orang ini?
* * *
Aku pun mempersiapkan berkas laporan tugas kantor yang telah kubuat semalam suntuk. Hari ini adalah jadwal kerja menemui seorang klien bersama atasanku.
Atasanku adalah seorang duda beranak satu. Dia baru saja cerai karena kedapatan si istri selingkuh dengan sopir pribadinya. Kasihan memang, atasanku ini sudah berkorban banyak untuk menghidupi keluarga dengan kemewahan yang didapatkan secara susah payah.
Bayangkan saja, hidup dari nol sampai mampu membangun suatu perusahaan kontraktor yang maju dan bisa menghidupi banyak orang. Adalah suatu hal yang membutuhkan pengorbanan dan usaha yang keras. Akan tetapi ternyata berakhir dikhianati seorang istri yang sudah menemaninya saat masih belum punya apa-apa.
Kemewahan mengubah istrinya menjadi bermata gelap. Dengan bergelimang harta, ia pun lupa terhadap pengorbanan suaminya yang telah membahagiakan keluarga. Malah sekarang berbalik mengkhianati, berselingkuh dengan sopir pribadinya.
Beberapa waktu lalu, atasanku sebut saja pak Haris, pernah berkeluh kesah. Sebagai bawahannya yang taat perintah aku tak terlalu menanggapinya secara serius, mengingat ada rasa sungkan. Beliau adalah seorang atasan yang harus dihormati. Dan aku hanya sekadar menjadi pendengar yang baik untuk keluhan kerumitan keluarganya saja.
Pak Haris memang mengetahui nomer ponsel dan akun sosmed-ku. Untuk urusan pekerjaan, maka haruslah selalu siap sedia dipanggil dan diberi tugas untuk masalah yang berkenaan dengan urusan kantor.
Tetapi semenjak cerai, pak Haris sedikit berubah sikap. Seringkali kutemukan curian pandangnya. Namun lagi-lagi aku tak paham dan hanya cuek saja.
Aku berpikir keras semenjak sms terakhir nomer misterius itu dan menghubungkan antara sms, pesan pribadi dan perhatian terselubung atasanku.
“Iet, Iiet!” panggil Pak Haris kepadaku yang sedang melamun.
“Eh, iya, Pak Haris memanggil saya?” tanyaku kaget.
“Iya, Iet. Melamun?” tanyanya.
“Enggak kok, Pak, hehehe …,”
“Laporan kemarin sudah kamu siapkan untuk bertemu klien kita? Kalau sudah, kita berangkat saja sekarang, ya?” ujarnya.
“Baik, Pak!”
Kami pun berangkat menuju sebuah rumah makan untuk bertemu klien. Di tengah perjalanan itu, Pak Haris masih saja mencuri pandang ke arahku. Menjadikan kikuk dibuatnya.
Beliau memang masih muda, usianya baru empatpuluh. Sedangkan aku duapuluh tiga tahun. Kami terpaut jauh. Namun kharismanya masih terlihat jelas.
Sebagai wanita, kuakui Pak Haris masih menawan hati bagi setiap lawan jenisnya. Tapi khusus buatku sendiri tak tahulah. Aku tak berani menduga-duga.
Dengan mobilnya, kami pun sampai menemui klien di rumah makan itu. Dan masih saja tatapan mata dan sikapnya membuatku salah tingkah. Serasa aku diistimewakan saja olehnya.
Dari membukakan pintu mobil, berjalan di samping, mempersilakan duduk di kursi yang ia sodorkan, dan tatapan itu! Serasa jantungku copot ketika matanya beradu pandang.
Serasa tak kuasa menatapnya. Hanya bisa melamun dan mengiyakan apa saja yang diobrolkan Pak Haris bersama klien kami. Aku hanya ingin secepatnya kembali ke kantor dan berkutat dengan kesibukan rutinitas.
* * *
Semenjak kejadian itu, aku tak bisa nyenyak untuk menidurkan mata. Tatapan Pak Haris membuat bayangan yang tak mampu terhapuskan dari ingatan.
Apa aku ini? Apa sudah jatuh cinta dengan atasan sendiri? Pikirku dalam otak yang kacau dan galau. Semakin memejam, semakin pula bayang wajah Pak Haris berterbangan di dalam kepala. Sontak kaget, ada sms ke ponsel dari nomer misterius itu.
“Iet, maafkan, ya? Sebenarnya aku hanya ingin dekat denganmu dan tak bermaksud mengganggu. Kuhanya berniat Ta’aruf kepadamu, salam, Haris,” tertulis sms itu.
“Apa? Ternyata sms dan pesan pribadi itu adalah dari nomer Pak Haris? Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?” gumamku sendirian di dalam kamar.
“Iya, Pak. Gak apa kok, maafkan Iiet jika berkata tak sopan kepada Bapak,” balasku sms.
Seketika panggilan ponsel pun berdering. Dan kuangkat dengan beribu perasaan galau.
“Halo,” sahutku.
“Iet, ini Haris, panggil saja ‘Mas’ ya? Sekali lagi maaf selalu mengganggu ketentraman hatimu. Aku hanya bermaksud ingin dekat saja. Kesepian hidup membuat hampa semenjak pisah dari istri. Aku berniat membangun kembali sebuah keluarga bersamamu. Itupun jika diperkenankan berta’aruf. Kasihan anakku Selfi yang ditinggal mamahnya bersama sopir sialan itu. Aku harap kamu mengerti, dan maafkan sekali lagi karena tak mampu berterus terang semenjak kemarin di pesan pribadi dan sms itu,” kata Pak Haris.
Dengan hanya terdiam mendengarkan ucapan pak Haris yang lembut dan penuh harap. Aku tak kuasa berbicara, seakan sebuah benda mengganjal di dalam kerongkongan.
Selfi anak pak Haris memang sering terlihat sedih. Dia acap kali diajak ayahnya ke kantor. Saat itulah aku mengajaknya ngobrol dan bermain menghiburnya. Kami memang akrab.
“Pak Haris, saya mengerti dan maklum keadaan Bapak, Selfi sudah s-s-saya anggap … ,”
“Iiet, jangan jawab sekarang, pikirkanlah dulu, aku akan sabar menunggumu!” Pak Haris memotong ucapan Iiet.
“Ba-ba-baik, Mas … eh, Pak!” jawabku tergagap.
Apa yang aku ucapkan tadi? Memanggil seorang atasan dengan panggilan “Mas”? Sudah kacau kepala ini. Benar-benar memalukan! Bagaimana bertemu Pak Haris di kantor nanti? Semua pertanyaan menyelimuti otak yang semakin membuatku tak bisa tidur.
Sekarang semua sudah jelas, bahwa sms dan pesan pribadi akun sosmed itu adalah dari Pak Haris atasanku. Dia berniat ta’aruf. Dan tanpa sadar, hati ini juga menyetujuinya. Ternyata aku menaruh hati pada atasan sendiri!
“Ooohh …, indahnya, apakah ini jatuh cinta? Membuat hatiku berbunga-bunga,” gumamku sambil tertawa.
“Iet! … Iiet! Sudah malam! Jangan ribut!” teriak Emak kepadaku.
“Eh … iya, Mak!” sahutku sambil menahan tawa kecil.
—–Selesai—–
Agung Wig
Smg 2022

Agung Wibowo; Penyair tinggal di Semarang, menulis puisi dan cerpen. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul “Jalan Cinta.”