Oleh : Suroto
BANYAK rakyat Indonesia yang tak paham soal utang negara itu seberapa berbahayanya jika sampai tak terbayar alias gagal bayar. Mereka tak mengira jika utang tak terbayar itu dapat berakibat pada urusan ekonomi dan hidup dan mati diri mereka.
Mereka yang tak paham tersebut menganggap enteng dengan mengatakan ” Ah, itu kan utang negara, bukan urusan kita. Toh yang membayar utang negara itu adalah pemerintah bukan saya”.
Mereka tak mengira jika negara tak sanggup membayar utang jatuh tempo itu bisa berakibat fatal yang dorong terjadinya masalah serius kebangkrutan suata negara dan bisa masuk menjadi negara gagal. Negara dan bangsa ini sepenuhnya akhirnya dapat terpuruk dan diatur oleh negara lain dan kita tak memiliki kedaulatan sama sekali.
Ekonomi yang ditopang oleh utang itu jika alami gagal bayar maka seluruh pengeluaran pemerintah yang diharapkan jadi stimulus bagi pergerakan ekonomi itu hanya habis difokuskan untuk membayar utang.
Pengeluaran pengeluaran rutin pemerintah dan pembangunan akan mandeg. Akibatnya akan membuat ekonomi masyarakat juga mandeg. Pengangguran meningkat, daya beli masyarkaat turun dan kemiskinan akan meningkat. Bahaya kelaparan akan menanti.
Sektor riil ekonomi masyarakat akan turut melambat, pemasukan dari pajak untuk biayai penyelenggaraan pemerintah juga menurun, dan bahkan cadangan devisa akan terancam habis dan kemungkinan besarnya hanya berfokus untuk pembiayaan bagi pemenuhan importasi pangan saja.
Jika tak dapat lakukan penjadwalan utang kepada pemberi utang maka negara akan berantakan. Apalagi jika utang tersebut lebih banyak ditopang oleh obligasi negara yang sudah jatuh tempo, sulit sekali untuk, dinegosiasikan.
Contoh paling riil adalah negara Sri Lanka saat ini. Negara dengan pendapatan menengah dan yang semua kebutuhan rakyatnya seperti sekolah, kesehatan dan dana pensiun rakyat dibayar negara itu saat ini terpuruk. Rakyat banyak yang hanya makan satu kali dan kemarahan timbul dimana mana sementara negara pemberi utangnya terutama China dan Jepang tak mau menjadwalkan utang mereka.
Kondisi utang negara kita sebetulnya saat ini sudah cukup memprihantinkan. Kondisinya bukan lagi gali lobang tutup lobang tapi gali lobang buat jurang. Artinya untuk membayar utang dan bunganya negara harus berutang.
Setiap tahun utang negara bukan turun tapi meningkat terus dan di masa pemerintahan Jokowi ini yang terjadi lonjakanya cukup drastis dan telah tembus di atas angka 7000 trilyun.
Diperkirakan banyak ekonom, jika pemerintahan Jokowi – Maruf Amin ini berjalan sampai 2024 maka akan mewariskan utang hingga 10.000 trilyun lebih. Setiap orang dan termasuk bayi yang akan lahir menanggung beban utang sebesar 36 juta rupiah lebih.
Padahal, ekonomi kita bukan hanya dalam kondisi alami defisit neraca pembayaran tapi juga dalam bayang bayang defisit neraca perdagangan. Tercatat dalam sejarah bahwa tahun 2018 misalnya, kita sempat juga alami defisit neraca perdagangan hingga $ US 8,57 milyar dolar atau 128 trilyun rupiah. Artinya apa yang kita import itu lebih banyak dari yang kita eksport. Sehingga turut menggerus devisa negara kita.
Soal utang ini, paling berbahaya lagi sebetulnya adalah bukan utangnya sendiri, tapi yang lebih berbahaya adalah selalu munculnya narasi penyesatan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan buzernya bahwa seakan posisi utang kita dalam posisi aman aman saja.
Muncul narasi yang menyesatkan masyarakat seakan kita ini rasio utangnya jika dibandingkan dengan misalnya Jepang masih sangat baik dengan dibandingkan dengan angka Produk Domestik Bruto ( PDB) negara tersebut.
Masyarakat lupa, bahwa sesungguhnya utang itu kaitanya justru paling penting itu dihitung dengan kemampuan bayarnya dan juga tentu daya dukung indikator ekonomi makro lainya. Seperti rasio terhadap eksportnya, rasio utang jangka pendeknya, rasio bagian utang luar negerinya, termasuk rasio utang yang dikonsesikan.
Jika dibandingkan dengan Jepang misalnya tentu kita sudah pasti sangat jauh sekali kualitasnya. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro mereka jauh lebih kuat dari negara kita.
Sementara, cadangan devisa negara kita itu saat ini juga jika dibadingkan dengan Jepang sangat jauh. Kita pada akhir Mei saja hanya memiliki cadangan devisa kurang lebih US $135 milyard. Sementara Jepang angkanya adalah US $ 1.171.
Nilai cadangan kita itu juga begitu mudah merosot oleh gejolak ekonomi dunia. Sebut saja misalnya, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 yang mana cadangan kita habis hanya untuk pertahankan nilai rupiah kita yang rontok diguncang habis oleh hanya ulah seorang spekulan kaya raya Amerika yang bernama George Soros.
Lalu pertanyaanya, kenapa narasi menyesatkan itu terus diproduksi tentu punya tujuan. Kalau dianalisa, pemerintah intinya ingin agar rakyat menyetujui agar utang itu terus ditambah dan dianggap sebagai kewajaran untuk tujuan legitimasi pembiayaan proyek.
Motivasi di belakang terpentingnya, bisa jadi karena banyak proyek proyek terutama proyek mega infrastruktur yang saat ini sedang dikerjakan oleh Pemerintah adalah sudah menjadi bagian dari komitmen politik dari para elit penguasa dan elit pengusaha kaya.
Termasuk untuk pemindahan Ibukota Negara yang urgensinya tentu lebih penting dari selamatkan ekonomi rakyat yang saat ini sedang terpuruk akibat pandemi dan krisis dunia.
Sebagaimana yang jadi judul artikel ini, kenapa rakyat disebut sebagai ugal ugalan? Sementara yang ugal ugalan itu terang terangan adalah pemerintah?
Pertama, rakyat disebut ugal ugalan karena pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini adalah rakyat. Sementara presiden dan pembantu pembantunya itu adalah hanya pembantu kita, orang yang kita gaji dan kita awasi untuk mengurus manajemen negara kita. Kita juga membayar anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) untuk membantu kita mengawasinya.
Tapi celakanya rakyat kita kebanyakan justru abai dan tidak ikut mengontrol kondisi yang terjadi. Menjadi apatis dan bahkan secara membabi buta turut mendukung perangai ugal ugalan tersebut.
Kedua, rakyat yang menurut Konstitusi kita disebut sebagai paling berdaulat ini justru kerjanya ikut memperburuk kondisi fiskal kita dengan hanya ikut menuntut agar negara keluarkan uang untuk dana pendidikan, kesehatan dan pensiun gratis. Bukanya terlebih dahulu melakukan reformasi besar merombak struktur ekonomi kita yang timpang akibat warisan kolonial dan imperialisme ekonomi.
Kita bukanya meminta kepada Presiden dan pembantunya untuk perbaiki struktur ekonomi yang sudah keterlaluan konsentrasi kekayaan dan pendapatanya tapi hanya berifikir jangka pendek uang negara dikuras bersama sama.
Rakyat kita biarkan konsentrasi kekayaan menumpuk pada segelintir orang. Hingga rasio gininya sampai 0,77 persen. Biarkan peraturan dan kebijakan ekonomi kita itu sebabkan 4 anggota keluarga kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat dari yang termiskin ( Oxfarm, 2021) dan pendapatan kita itu hanya dimonopoli oleh segelintir elit kaya.
Parahnya lagi, kita biarkan elit kaya dan elit politik yang telah membuat kesengsaraan rakyat dan jual seluruh sumberdaya alam, jual rakyat sebagai buruh murah dan jadikan sebagai pasar import produk negara lain itu justru kita langgengkan. Ini sangat jelas, rakyat kita memang ugal ugalan.
Jakarta, 16 Juni 2022
Suroto, Rakyat Jelata Yang Sadar