Scroll untuk baca artikel
Blog

Rakyat Ugal Ugalan

Redaksi
×

Rakyat Ugal Ugalan

Sebarkan artikel ini

Padahal, ekonomi kita bukan hanya dalam kondisi alami defisit neraca pembayaran tapi juga dalam bayang bayang defisit neraca perdagangan. Tercatat dalam sejarah bahwa tahun 2018 misalnya, kita sempat juga alami defisit neraca perdagangan hingga $ US 8,57 milyar dolar atau 128 trilyun rupiah. Artinya apa yang kita import itu lebih banyak dari yang kita eksport. Sehingga turut menggerus devisa negara kita.

Soal utang ini, paling berbahaya lagi sebetulnya adalah bukan utangnya sendiri, tapi yang lebih berbahaya adalah selalu munculnya narasi penyesatan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan buzernya bahwa seakan posisi utang kita dalam posisi aman aman saja.

Muncul narasi yang menyesatkan masyarakat seakan kita ini rasio utangnya jika dibandingkan dengan misalnya Jepang masih sangat baik dengan dibandingkan dengan angka Produk Domestik Bruto ( PDB) negara tersebut.

Masyarakat lupa, bahwa sesungguhnya utang itu kaitanya justru paling penting itu dihitung dengan kemampuan bayarnya dan juga tentu daya dukung indikator ekonomi makro lainya. Seperti rasio terhadap eksportnya, rasio utang jangka pendeknya, rasio bagian utang luar negerinya, termasuk rasio utang yang dikonsesikan.

Jika dibandingkan dengan Jepang misalnya tentu kita sudah pasti sangat jauh sekali kualitasnya. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro mereka jauh lebih kuat dari negara kita.

Sementara, cadangan devisa negara kita itu saat ini juga jika dibadingkan dengan Jepang sangat jauh. Kita pada akhir Mei saja hanya memiliki cadangan devisa kurang lebih US $135 milyard. Sementara Jepang angkanya adalah US $ 1.171.

Nilai cadangan kita itu juga begitu mudah merosot oleh gejolak ekonomi dunia. Sebut saja misalnya, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 yang mana cadangan kita habis hanya untuk pertahankan nilai rupiah kita yang rontok diguncang habis oleh hanya ulah seorang spekulan kaya raya Amerika yang bernama George Soros.

Lalu pertanyaanya, kenapa narasi menyesatkan itu terus diproduksi tentu punya tujuan. Kalau dianalisa, pemerintah intinya ingin agar rakyat menyetujui agar utang itu terus ditambah dan dianggap sebagai kewajaran untuk tujuan legitimasi pembiayaan proyek.

Motivasi di belakang terpentingnya, bisa jadi karena banyak proyek proyek terutama proyek mega infrastruktur yang saat ini sedang dikerjakan oleh Pemerintah adalah sudah menjadi bagian dari komitmen politik dari para elit penguasa dan elit pengusaha kaya.

Termasuk untuk pemindahan Ibukota Negara yang urgensinya tentu lebih penting dari selamatkan ekonomi rakyat yang saat ini sedang terpuruk akibat pandemi dan krisis dunia.