Ekonom senior Awalil Rizky mengatakan penurunan cadangan devisa pada bulan September ini harus diwaspadai oleh otoritas ekonomi sebagai ancaman atau risiko arus modal keluar Indonesia.
BARISAN.CO – Posisi cadangan devisa pada akhir September 2022 dilaporkan oleh Bank Indonesia (07/10/2022) mencapai US$130,8 miliar. Menurun dari akhir bulan sebelumnya yang mencapai US$132,2 miliar. Dikatakan bahwa penurunan itu antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Bank Indonesia mengumumkan posisi cadangan devisa Indonesia untuk kondisi tiap akhir bulan. Nilainya dinyatakan dalam dolar Amerika, meski sebagiannya berdenominasi mata uang lain dan berbentuk emas moneter.
Publikasi Bank Indonesia menggolongkan bentuk atau jenis cadang devisa Indonesia dalam empat kelompok. Yaitu: emas moneter, Special Drawing Rights, Reserve Position in the Fund (RPF), dan Cadangan devisa lainnya.
Kategori cadangan devisa lainnya mendominasi, terutama karena tersedia paling banyak dan sangat likuid. Bank Indonesia belum merinci posisi akhir September, biasanya dilakukan secara terpisah beberapa hari kemudian.
Sebagai gambaran, dapat dicermati komposisi cadangan devisa pada akhir Agustus 2022 yang sebesar US$132,2 milyar. Cadangan devisa lainnya mencapai US$119,57 miliar atau 90,44% dari total. Cakupan bentuknya juga paling luas. Nilai terbanyak berbentuk Surat Berharga sebesar US$108,93 miliar (82,40%). Diikuti oleh Uang Kertas Asing dan Simpanan sebesar US$10,01 miliar (8,34%), dan Tagihan Lainnya sebesar US$0,62 miliar.
Sementara itu, cadangan devisa dalam bentuk emas moneter sebesar US$4,35 miliar (3,29%). Dalam bentuk SDRs sebesar US$7,26 miliar (5,49%). SDRs ini merupakan “mata uang” dari International Monetary Fund (IMF). Cadangan devisa dalam bentuk RPF atau simpanan di IMF sebesar USD1,03 miliar (0,78%).
Ekonom senior Awalil Rizky mengatakan penurunan cadangan devisa pada bulan September ini harus diwaspadai oleh otoritas ekonomi sebagai ancaman atau risiko arus modal keluar Indonesia. Awalil menyebut penurunan posisi cadangan devisa telah mencapai 9,74% dibanding akhir tahun 2021 yang masih sebesar US$144,91 milyar.
“Jika kecendrungan selama beberapa bulan terakhir berlanjut hingga akhir tahun, maka kemungkinan akan tercatat menjadi rekor persentase penurunan selama belasan tahun ini. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2008 (9,28%) dan 2013 (11,88%). Padahal, posisinya cenderung meningkat dalam banyak tahun,” lanjut Awalil.
Awalil menjelaskan lebih lanjut bahwa penambahan atau pengurangan posisi cadangan devisa tiap bulan terutama dipengaruhi oleh berbagai jenis transaksi internasional. Transaksi tersebut dicatat oleh Bank Indonesia dan dipublikasikan tiap triwulan dalam bentuk Neraca, yang dikenal sebagai Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). NPI menjadi catatan arus keluar dan masuk devisa dari sisi negara Indonesia.
Komponen NPI terdiri dari neraca Transaksi Berjalan, neraca Modal dan neraca Finansial. Transaksi Berjalan merupakan neraca perdagangan barang dan jasa dalam arti luas. Kondisi Transaksi Berjalan yang surplus selama dua tahun terakhir berarti ada penambahan cadangan devisa. Trennya di masa lalu justeru defisit.
Sebaliknya dengan Transaksi Finansial yang terutama mencatat arus investasi dan utang piutang, yang dahulu cenderung surplus. Artinya secara neto, terjadi arus masuk modal asing ke Indonesia. Pada tahun 2021 dan masih berlanjut pada tahun 2022 justeru mengalami defisit.
Awalil menyimpulkan arus modal telah mulai cenderung ke luar, meski besarannya masih belum terlampau besar. Menurutnya, otoritas ekonomi mesti mewaspadai risiko nilai arus keluarnya makin membesar pada bulan-bulan mendatang. Jika itu terjadi, rupiah akan terus melemah dan guncangan bagi perekonomian nasional dapat terjadi. [Luk]