Scroll untuk baca artikel
Kolom

Tirakat Sang Raja

Redaksi
×

Tirakat Sang Raja

Sebarkan artikel ini

KELELAHAN membersihkan rumah, saya tertidur di pinggir kolam. Anggrek yang mulai rontok dan ikan-ikan yang guyonan tak mampu menyandera kantuk saya. Dan terjadilah mimpi itu. Mimpi saya sebagai raja.

Sebagai seorang Raja, saya harus melindungi rakyat. Maka ketika ada pageblug, saya terus menjalani tirakat lahir batin. Tirakat lahir, saya tak gampang menghukum orang, biar anak buah saya saja yang menghukum. Tentu harus disiapkan infrastruktur legal formal bernama hukum.

Tirakat batin, saya harus mampu menepis segala sikap baik pada saya karena saat terjadi pageblug, sayalah yang dipasrahi Gusti Allah untuk melindungi. Bukan rakyat yang melindungi saya. Inilah sikap saya sebagai raja yang saya tunjukkan dalam sebuah pasamuan agung bukan paskah.

“Tuan, atas nama perlindungan masyarakat, sebaiknya janganlah membiarkan masyarakat berkumpul. Pageblug ini jelas penularannya. Ini adalah pageblug kebencian, penularannya mulai dari mulut ke mulut, dari tangan ke tangan,” kata salah satu Tumenggung.

Demi mendengar masukan ini, maka senopati bhayangkara segera memaklumatkan adanya jam malam dan larangan berkumpul. Yang mantu harus dibubarkan, salat, misa, sembahyang di pura dan lain-lain harus dibubarkan. Yang ketahuan nglayap malam-malam tangkap dan dipenjarakan.

“Wah penjara kita sudah penuh. Isinya maling-maling duit negara,” kata salah satu Adipati menanggapi.

“Kalau gitu lepaskan mereka. Kalau mereka yang tertular dan modar, kita bisa ngomong itu sengaja kita lakukan, karena itu adalah hukuman mati yang kita terapkan dengan melibatkan Gusti Allah. Jadi membunuhnya itu syar’i,” Senopati Bhayangkara menanggapi.

Maka terjadilah apa yang mestinya terjadi, sesuai dengan rapat itu.

Namun ketika pageblug ini tak kunjung mereda, maka saya kemudian manekung. Saya mencoba menyelami apa yang dimaui Gusti Allah. Langkah apapun akan saya lakukan. Hingga saya mendapatkan wangsit.

“Besok, kumpulkan kusir-kusir andong ke istana. Saya akan membagikan beras, minyak goreng dan sejenisnya,” demikian sabda saya.

“Tapi itu melanggar aturan,” senopati Bhayangkara membantah.

“Ini perintah titik. Sabda pandhita ratu, tan kena wola wali. Sepisan ngomong rata wong sak negara,” saya ngeyel.

Hari itu tiba. Anehnya kusir-kusir dokar yang saya kumpulkan ini sudah berubah. Mengenakan jaket hijau dan berkerumun di istana.

“Jangan dilihat ini kerumunan. Ini adalah salah satu syarat agar pageblug kita segera berakhir. Sekali lagi, yang boleh mengumpulkan rakyat dengan jumlah banyak dan berkerumun itu hanya raja. Karena raja sudah mendapat wahyu. Kalian para kawula, sebaiknya tenang saja biar rajamu yang bekerja,” demikian saya mulai berpidato.

Semua sibuk. Saya dikecam habis-habisan. Tapi saya tenang. Hingga ketenangan itu terusik bau tela bakar. Maka, saya terbangun dari mimpi menyeramkan ini. Rupanya Mamad menjalani apa yang saya ajarkan, nyolong tela sak cukupe, bakar tengah malam di gardu.

Hanya tela yang sanggup menghentikan saya menjadi raja.