Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) kirim surat kepada Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) merespon bencana banjir bandang dan menagih tanggung jawab KLHS Pegunungan Kendeng
BARISAN.CO – Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) kirim surat kepada Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) merespon bencana banjir yang melanda Pati dalam 3 bulan, mulai November 2022 s/d Januari 2023.
Petrasa Wacana dari Indonesian Speleological Society (ISS) mengatakan banjir yang terjadi sampai dengan saat ini memberikan duka mendalam bagi masyarakat terdampak, khususnya petani.
“Selain berdampak terhadap rumah dan hewan ternaknya juga berdampak pada ancaman gagal panen akibat lahan yang terendam banjir. Akibatnya ancaman akan krisis pangan dan kesengsaraan bagi petani terlihat jelas,” imbuhnya dalam Siaran Pers, Rabu (18/1/2023).
Dampak yang ditimbulkan akibat banjir yang terjadi di Pati berdasarkan data sementara BPBD Kabupaten Pati, 2023 terdapat 4.559 rumah terdampak banjir.
Dampak kerugian Pertanian Sawah seluas 3.807 Hektar di 7 Kecamatan, Kalau dihitung berdasarkan nilai produktifitas berdasarkan Data BPS November 2022, menunjukkan harga Gabah (GKP) rata-rata di petani Rp 5.397 per Kg, dimana setiap hektar lahan pertanian sawah produktif dapat menghasilkan 3 – 6 ton/hektar, dengan asumsi rata-rata per hektar 4 ton atau 4.000 kg maka total kerugian yang ditimbulkan pada sektor pertanian Rp 123.278.274.00 atau 123,2 Milyar Rupiah.
Menurut Petrasa Wacana, akibat yang ditimbulkan oleh banjir ini memutus roda ekonomi masyarakat akibat terputusnya jalur-jalur distribusi dan pasar, terganggunya pelayanan publik, tidak berfungsinya sarana dan prasarana publik, terganggunya aktifitas pendidikan.
“Selain itu masyarakat harus mewaspadai kemungkinan banjir susulan selama musim hujan,” terangnya.
Dalam isi suratnya, JM-PPK menyampaikan bahwa kejadian bencana banjir di akhir 2022 lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya bukan tanpa sebab.
Sejak tahun 2010, pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng terjadi secara masif dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Penyebabnya adalah karst sebagai sebuah ekosistem ditambang secara masif sehingga menjadi tidak maksimal resapannya dan berdampak terhadap banjir yang semakin tinggi.
Tambang-tambang yang hadir di Pati bukan hanya dilakukan oleh korporasi besar tapi juga kecil dan baik yang berizin maupun tidak.
Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi secara besar-besaran sehingga berpengaruh terhadap daerah resapan. Akibatnya ketika hujan seperti ini banjir tak berkesudahan dan ketika musim kemarau ancaman kekeringan juga terus membayangi masyarakat sekitar khususnya petani.
Banjir, penggundulan hutan, dan alih fungsi lahan yang terjadi saat ini bayangannya akan semakin parah dengan adanya Perda RTRW Pati yang disahkan pada April 2021.
Penetapan semua kecamatan sebagai kawasan tambang adalah yang paling parah termasuk pemerintah yang tidak lagi mempercayai hasil-hasil kajian ilmiah.
Sebagai contohnya Tambakromo yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri. Padahal dalam dokumen KLHS Pati, Tambakromo menjadi kawasan dengan kerawanan bencana yang tinggi.
Dan yang perlu diperhatikan kembali, 2017 keluar KLHS Pegunungan Kendeng oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah jelas menggambarkan ancaman krisis lingkungan jika tambang terus berjalan.
KLHS amanat presiden ini juga secara jelas menjelaskan bahwa ketika bencana akibat tambang melanda maka kerugian bukan hanya alam. Namun taksiran secara ekonomi kepada masyarakat terdampak juga tidak sedikit.
Ketua JM-PPK, Gunretno mengatakan momen penting ini, JM-PPK berkirim surat mengingatkan kepada KSP dengan untuk memberikan informasi detail terkait dampak banjir di wilayah Pegunungan Kendeng.
“Termasuk memberikan beberapa masukan konkrit utamanya untuk kembali meninjau pembangunan di wilayah Pati berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng dan meninjau kembali perda RTRW Pati,” sambungnya.
Lebih lanjut, Gunretno menyampaian bahwa beberapa lahan pertanian menggantungkan airnya dari pegunungan Kendeng. Para petani di Kendeng telah memajukan masa tanamnya tidak sampai Desember telah panen. Agar ketika banjir petani punya cadangan pangan.
“Kekhawatiran itu terus terjadi, maka perlu dilakukan rehabilitasi dan penghijauan kembali di kawasan pegunungan Kendang. Pertambangan malah memperparah kondisi banjir. Padahal warga telah lama menolak adanya pabrik semen,” terangnya.
Gunretno menambahkan, warga meminta kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk duduk bersama membicarakan solusi atas peristiwa banjir ini. termasuk pelibatan dalam pembuatan tata ruang agar direvisi Perda-nya.
“Orang yang tau lapangan akan memberikan masukan sebagaimana perda tata ruang itu” pungkasnya.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Nasional), Melva Harahap menyampaikan buruknya tata kelola tata ruang di Jawa Tengah, masifnya negara memporak-porandakan dengan regulasi yang tidak punya prespektif lingkungan.
Negara juga tidak memperlihatkan peran-peran dari perempuan Kendeng. Kearifan lokal yg mereka miliki dalam menjaga alam, Pengelolaan Sumber Daya Alam tidak punya perspektif lingkungan dan bencana. Harus melibatkan sedulur-sedulur Kendeng dalam aspek lingkungannya.”
Memeng sapaan akrabnya, menambahkan secara UU pasal 33 kekayaan alam, bumi air dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, harusnya dengan mandat tersebut negara lebih berpihak kepada rakyat.
“Jangan hanya segelintir kepentingan yang jelas-jelas merusak alam dan ruang hidup penghidupan, tidak malah sebaliknya dengan gagal tata kelola Lingkungan Hidup, banjir, longsor silahkan dinikmati oleh rakyat, dan untuk tahap pencegahan dan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi juga memperhatikan pemulihan lingkungan hidup yang rusak akibat pengrusakan daerah pengunungan kendang atau kawasan serapan air,” tegasnya. [Luk]