LUCIANA Andalusia. Andre mengenal cewek Palembang ini sejak kuliah semester pertama di Kampus Tercinta Lenteng Agung, Jakarta Selatan, lima belas tahun silam. Hubungan semakin dekat secara fisik dan emosional saat Luci, cewek imut-imut itu, ikut bergabung dengan organisasi yang Andre dirikan di kampus, Komunitas Kajian Televisi.
Intensnya pertemuan organisasi, lama-lama Andre semakin mempercayai pepatah Jawa witing tresno jalaran sokokulino. Pertama Andre tertarik karena fisiknya, terutama rambut sebahunya yang lurus kayak direbonding dan beberapa jerawat kemerahan yang menghiasi muka bulatnya. Tahap selanjutnya Andre semakin meningkatkan porsi perhatian kepada Luci karena kalau diajak diskusi tentang apa saja selalu nyambung.
Sebenarnya, sejak awal-awal Andre sempat berusaha untuk nembak Luci. Namun, entah sudah berapa kali niat itu selalu diurungkan karena takut ditolak. Belakangan, sikap tersebut malah membuat Andre jomblo berkepanjangan. Saat itu memang Andre sangat yakin dengan tips di sebuah artikel majalah remaja bahwa tidak semua perempuan yang dekat dan sudah terbuka soal apapun, bisa menjadi pacar.
Sebenarnya, boleh dikatakan hubungan Andre dengan Luci sudah seperti pacaran yang standar. Bukan berarti Andre ge-er, tetapi ini bisa dibuktikan dengan pertanyaan teman-teman komunitas yang semuanya bernada menyelidik. Setiap kali Andre menyangkal, dalam anggapan teman-teman berarti sebaliknya. Anehnya, kadang-kadang Andre sangat rindu dengan pertanyaan teman-temannya itu.
“Udah, pacarin aja, Dre,” kata Bajo Winarno yang dikalangan komunitas sering disebut seniman gagal.
“Gue takut ditolak,” jawab Andre pelan-pelan. “Lu tau sendiri kan gue sering ditolak cewek.”
“Lu tembak aja nanti dalam pertemuan kita di Puncak.”
“Gue tetap nggak berani.”
“Ya, terserah.”
Sejak saat itu Bajo Winarno tak pernah lagi mendesak Andre untuk nembak Luci. Namun, belakangan Andre rindu desakan itu. Andre juga sangat rindu bila sebelum diskusi, apapun isu tentang Luci menjadi wacana pengantar.
***
Pagi itu, Andre berkunjung ke rumah kost Luci di Gang Sawo, Depok, Jawa Barat. Andre berkunjung karena Luci sendiri mengabarkan ia tak bisa kuliah karena sakit. Saat itu juga Andre langsung meminta izin lewat handphone kumalnya untuk menjenguk penuh rindu.
“Sakit apa, say…Luci?” tanya Andre sesaat setelah sampai di rumah kostnya dan nyaris mengucap sayang.
“Biasa, penyakit perempuan,” jawab Luci. “Katanya sih aku ada masalah dengan kandungan.”
“Seriuskah?”
“Besok aku harus periksa ke Rumah Sakit Pertamina.”
“Aduh, aku kuliah.”
Sebenarnya Andre nggak bisa ngantar karena memang nggak punya duit. Saat itu Andre adalah mahasiswa miskin yang datang ke Jakarta dari sebuah udik terpencil di Priangan Timur, Jawa Barat. Teman-teman di komunitas juga sudah mafhum bahwa Andre dikenal sebagai mahasiswa yang setiap akhir semester paling rajin membuat surat miskin biar bisa ngutang ke kampus.
“Ngak pa-pa, besok dianter kakak.” Luci seperti sudah mengenal alasannya. “Besok aku nggak kuliah. Pinjem catatan aja, ya.”
Pagi itu bukan pertemuan terakhir Andre dengan Luci. Andre selalu punya saja alasan untuk bertemu dengannya. Dari mulai membuat konsep surat untuk mengundang anggota komunitas berdiskusi, mengkopi catatan kuliah, hingga meminjam buku dan modul.
***
Andre paling dulu meninggalkan Kampus Tercinta. Kendati begitu bukan berarti Andre putus hubungan dengan Luci. Pertemuan Andre semakin intens terutama saat Luci sibuk menyusun skripsi. Beberapa kali Luci meminta bimbingan terutama soal metodologi penelitian.