NETIZEN, suporter, pun buzzer kadang bisa lebih kejam. Mereka justru kadang yang membuat keruh suasana.
Pendukung partai bisa saling baku hantam seperti halnya penggemar sepakbola. Pendukung artis tertentu bisa ribut di media sosial dengan pembencinya. Apalagi dalam dunia politik.
Padahal dalam politik semuanya sudah mafhum dengan adagium klasik: tak ada teman abadi yang ada itu adalah kepentingan.
Politik juga tidak sekadar ilmu atau praksis. Tetapi politik juga adalah seni. Seni untuk mencapai atau merebut kekuasaan.
Karena itu kalau berpolitik atau belajar politik disarankan jangan baperan. Mungkin sekarang berada di posisi oposan dan bisa jadi suatu hari nanti berada dalam lingkaran kekuasaan. Baik sebagai oposan maupun duduk di kekuasaan sama-sama memiliki nilai dan bermanfaat.
Pagi ini kita mendapat kabar mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan bertemu dengan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming. Gibran datang dan disambut Anies di sebuah hotel di Solo dan berlanjut dengan sarapan pagi.
Publik tentu tak bisa melepaskan Gibran dengan Jokowi. Sementara Anies selama ini diasosiasikan sebagai lawan, antitesis atau penawar atas segala kebijakan Jokowi. Anies beda dengan Jokowi, begitu anggapan sebagian publik selama ini.
Tentu, perbedaan itu sunatullah. Karena beda itu maka pertemuan Anies dan Gibran menjadi seru, bernilai berita tinggi dan sangat gurih diperbincangkan.
Ketika perbedaan dikelola dengan baik, penuh persaudaraan, silaturahmi, sopan-santun, penuh etika dan memiliki tujuan yang mulia, maka dampak atau hasilnya juga menjadi baik.
Apapun alasan Anies untuk hadir ke Solo, paling tidak telah mengajarkan kepada kita para relawan, netizen dan partai politik bahwa perbedaan tidak menghalangi persaudaraan dan silaturahmi. Apalagi perbedaan itu cuma soal pandangan politik.
Pilpres 2024 masih sekira satu tahun lagi. Siapapun silakan yang merasa mampu dan memiliki visi untuk memajukan rakyat dan negara Indonesia, mencalonkan diri. Segera deklarasi jangan malu-malu sehingga rakyat bisa langsung tatap muka dan mengujinya.
Bila Pak Jokowi untuk membangun infrastruktur yang masif di Indonesia menggelorakan semangat “kerja, kerja, kerja” maka presiden penggantinya nanti harus melangkah lebih jauh dan kalau bisa meneriakkan slogan “karya, karya, karya”.
Kerja sudah, sekarang bangsa Indonesia menghadapi Bonus Demografi dan Indonesia Emas pada 2045 saatnya mengandalkan otak dengan inovasi dan karya. Pembangunan infrastruktur ke depan sudah tidak dominan lagi karena menginjak usia 100 tahun, Indonesia membutuhkan karya otak (kecerdasan buatan, moda transportasi drone dan energi ramah lingkungan).
Tapi sayangnya, seorang pemilik lembaga survei yang juga merangkap buzzer, Yunarto Wijaya menyikapi pertemuan Anies dan Gibran dengan nada penuh sindir. Demi memuaskan syahwat buzzer-nya fakta pun dia balik
“Jiye hari ini ada yang minta waktu ketemu sarapan bareng walikota solo….” cuit Yunarto dalam akun Twitter-nya.
Buzzer justru bikin suasana menjadi keruh. Sangat menyedihkan. [rif]