Scroll untuk baca artikel
Blog

Potret Keberagamaan yang Ekslusif Kaum Khawarij Modern

Redaksi
×

Potret Keberagamaan yang Ekslusif Kaum Khawarij Modern

Sebarkan artikel ini

Pada tahun ke-37 hijriyah terjadi peperangan yang dalam sejarah Islam disebut sebagai Perang Shiffin. Peperangan tersebut merupakan peperangan antara kelompok pendukung Khalifah resmi Ali bin abi Thalib dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyyah bin abi Sufyan yang kala itu menjabat sebagai Gubernur di Syam.

Pertempuran berakhir dengan jalan arbitrase, yaitu menyelesaikan perselisihan dengan merujuk kepada kitab al Quran. Namun tanda diduga pihak Muawiyah melakukan kecurangan dan menjadikan terpecahnya kelompok Ali. Di mana ada barisan yang membelot dari pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan kaum Khawarij.

Sebagian besar sejarawan menuliskan bahwa kelompok Khawarij merupakan cikal bakal munculnya faham ekslusifisme dalam beragama. Bahkan kaum Khawarij kemudian mengkafirkan para sahabat karena menerima arbitrase sebagai telah keluar dari Islam dan darahnya halal.

Kaum Khawarij menjadi kelompok yang merepresentasikan pemahaman keagamaan Islam yang kaku, radikal dan intoleran. Karena sikap ekslusifisme tersebut, pemikiran Khawarij menjadi gerakan berIslam yang membatasi berbagai hal ke dalam ajaran yang bersifat tekstual saja. Menolak berbagai upaya kontekstualisasi doktrin keagamaan dengan perkembangan zaman dan budaya.

Jadi, pemikiran keagamaan yang muncul adalah sikap tertutup, malas berdiskusi, malas melihat permasahan dari perspektif yang berbeda.

Ekslusifisme dalam keberagamaan dapat dilihat melalui empat karakteristik, yaitu: Pertama, menerapkan pendekatan literal dalam memahami teks-teks Islam (pemahaman tekstual).

Kedua, pandangan keselamatan hanya dapat dicapai melalui satu kelompok dalam agama Islam  disertai dengan penolakan terhadap kelompok lain dan pengikutnya (truth-claim).

Ketiga, menekankan gagasan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan negara (anti-sekularisasi).

Keempat, para penganut paham ini percaya adanya teori konspirasi dalam berbagai masalah, dikaitkan dengan negara non Islam, negara Yahudi atau kafir secara umum, untuk memperlemah kekuatan politik Islam (percaya adanya konspirasi thaghut).

Sikap ekslusifisme itu kini mulai banyak kita temui. Mulai dari mengusung hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman atau pengamalan ajaran Islam berbasis teks, hingga menarik romantisme sejarah kejayaan masa lalu Islam kepada kehidupan modern.

Akhirnya kita sebagai umat Islam terbesar justru menjadi amat ringkih dengan berbagai perbedaan yang meruncing akibat sikap ekslusifisme. Sikap merasa paling benar, merasa paling sesuai syariat, yang kemudian mendorong masing-masing kelompok saling menghujat, melabel, bahkan melemparkan stigma sesat kepada mereka yang dianggap tidak sesuai dengan pemahaman kelompoknya.