Scroll untuk baca artikel
Blog

Primadona Tobong – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Primadona Tobong – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

PANGGUNG pertunjukan itu ibarat kekuasaan.  Di dalamnya  ada sandiwara dan kebohongan.  Karena tiap mahkota, tiap kekuasaan,  rajin memproduksi ilusi.  Untuk itulah panggung pertunjukan juga harus mampu menyihir para penontonnya melalui kostum yang dikenakan, Dekorasi panggung, Tata pencahayaan, dialog-dialog yang memukau, tokoh yang mempesona, alunan musik yang menyihir  serta alur cerita yang mengajak para penontonnya larut dan terkesima.  Ilusi itu memperdaya, sekaligus bisa juga menghibur. 

Dan yang tak kalah penting, ilusi menyambung percakapan  dengan mereka yang berada di luar panggung pertunjukan dan kekuasaan sekaligus.  Kekuasaan adalah pementasan.  Kekuasaan berhasil bukan karena  menindas dengan bayonet dan menyuap dengan uang, tetapi karena cerdas memainkan ilusi.  Panggung pertunjukan yang baik akan membawa penonton untuk mengidentifikasikan diri pada tokoh yang digiring oleh alur cerita. 

Bahkan alur yang baik adalah alur yang mampu membawa penonton untuk menggandrungi tokoh yang dimaui oleh alur cerita itu sendiri.  Kekuasaan sebagaimana panggung pertunjukan adalah sebuah pencitraan belaka.  Ia tidaklah kejadian yang sesungguhnya.  Saking tipisnya perbedaan antara panggung pertunjukan dan kekuasaan tak jarang membuat keduanya sulit untuk dibedakan dan membedakan dirinya. 

Sebaliknya panggung pertunjukan seringkali menjelma menjadi Kekuasaan.  Dan pertunjukan adalah alat untuk menutupi agar Jangan sampai khalayak umum melihat yang sebenarnya.  Kekuasaan dan panggung pertunjukan lebih sering bhidup dalam ilusi ketimbang kenyataan.”

“Namun begitu ibarat pepatah, sepandai-pandai tupai melompat pastilah jatuh juga.  Begitu pula dengan kekuasaan.  Tak semua terpukau.  Mestilah ada patahan cerita dalam setiap pertunjukannya agar penonton tak tenggelam sepenuhnya dalam cerita hingga lupa bersikap sebagai pengamat yang kritis.  Sekali lagi ilusilah yang telah membuat khalayak ramai melihat sisi lain dari primadona yang seolah-olah kekal.  Pertunjukan dan ilusi bertaut sehingga orang merasa asyik saja.

“Ayolah Ken!  Lihatlah!  Penonton sudah tak sabar menunggumu!,” bujuk Lanjar dengan kalimatnya yang sedikit lebih keras volumenya. 

Ken hanya menoleh sebentar ke arah laki-laki yang berpenampilan gemulai tersebut, sedetik kemudian ditatapnya kembali cermin yang ada di hadapannya lekat-lekat.   Tak sepatahkatapun keluar dari mulutnya yang merah merona oleh gincu itu. 

Sapuan kosmetik yang membuat paras Ken semakin cantik telah ambyar oleh leleran air mata.  Entah mengapa malam ini Ken seperti tak ingin tampil di panggung tobong yang selama ini telah membesarkannya.  Padahal biasanya ia sangat antusias sekali setiap kali manggung.  Bahkan menurut Ken, dengan tampil di panggung tobong membuatnya bahagia.

“Sekali ini saja Ken!  Setelah itu terserah Kamu,” bujuk Lanjar kembali sembari mendekati Ken dan menepuk pundak Ken dengan lembut. 

Lelaki pimpinan Tobong dang dut itu sebenarnya sudah tak sabar dengan tingkah Ken yang tiba-tiba ngambek.  Sementara itu di panggung tobong lagu berjudul selamat malam milik Evie Tamala dan Kuda Lumping sudah meluncur dari mulut Leni untuk meredam histeris penonton yang menginginkan kehadiran Ken.  Mungkin saking jengkelnya penonton, tak ayal lagi tubuh Leni terkena lemparan air mineral yang dilemparkan oleh penonton. 

Bahkan aksi goyangan Leni seperti tak mampu menghipnotis penonton tapi justru membuat penonton semakin beringas.  Di luar tobong, suara manusia yang menyesaki pasar malam di sebuah lapangankecamatan itu terdengar timbul tenggelam saling tumpang tindih dengan suara pengeras suara dari masing-masing stand permainan.  Beberapa stand judi berkedok ketangkasan terlihat paling ramai dikunjungi.  Mencari peruntungan!  Toh pakai uang sendiri, mengapa dilarang?