Scroll untuk baca artikel
Blog

Program KB dan Pendekatan Budaya

Redaksi
×

Program KB dan Pendekatan Budaya

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Salah satu Program Pembangunan Orde Baru yang terbilang sukses adalah Keluarga Berencana (KB). Kegiatan yang digagas para ahli kandungan tahun 1957 ini pada mulanya untuk tujuan menekan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Oleh Pemerintah Orde Baru kegiatan ini kemudian dijadikan sebagai program penjarangan dan pembatasan kelahiran.

Melalui berbagai upaya, Program KB berhasil menekan angka kelahiran. Jumlah pengguna kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) meningkat dua kali lipat hingga mencapai 60% antara tahun 1976 dan 2002. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) berkurang hingga setengahnya, dari 5,6 menjadi 2,6 anak per wanita.

Atas keberhasilan ini Indonesia mendapat penghargaan internasional dari United Nation (UN) Population Award oleh UNFPA pada tahun 1989. Pengakuan dunia internasional membuat Program KB di Indonesia menjadi menjadi rujukan banyak negara di dunia. Indonesia dinilai paling sukses di dunia dalam kebijakan Program KB.

Salah satu kunci sukses dari Kebijakan KB di Era Orde Baru adalah melalui pendekatan strategi budaya. Pemerintah sejak Repelita III merubah kebijakan program menjadi gerakan masyarakat. Pemerintah mengajak berbagai elemen strategis masyarakat (ormas, tokoh masyarakat, ulama, dll) untuk ‘turun tangan’ terlibat dalam program ini. Bahkan elemen masyarakat adalah di antara garda depan dalam kegiatan kampanye di tengah masyarakat.

Langkah pemerintah mengajak berbagai elemen masyarakat dirasa cukup efektif. Beberapa faktor penyebabnya adalah, pertama, bagi pemerintah tak mudah meyakinkan program pembatasan kelahiran kepada masyarakat. Ada nilai nilai tertentu di masyarakat yang tak selaras dengan kebijakan pemerintah itu. Memaksakan program KB akan berhadapan dengan tembok budaya yang tak mudah diterobos. Mengajak elemen strategis masyarakat merupakan ‘jembatan emas’ penghubung pemerintah dan masyakat dalam meyakinkan misi program.

Kedua, dengan melibatkan elemen masyarakat sebagai salah satu ujung tombak program, agenda kebijakan keluarga berencana bisa disampaikan dengan argumen dan bahasa yang mudah diterima masyarakat. Ketika figur atau tokoh panutan masyarakat menjadi bagian juru bicara program, maka hambatan atau resistensi masyarakat relatif bisa dieleminasi.