“Mungkin ini semua karena Kita kualat!”
“Apa katamu? Sekali lagi Kamu bilang begitu, mulutmu akan Aku robek!” ancam Makmun sambil mendelik. Sementara itu Kodir langsung mengkeret diancam sedemikian rupa.
“Jadi orang itu mbok ya yang sabar. Kita dengarkan dulu pendapat Kodir,” sahut Parjo sambil menepuk pundak Makmun yang masih tersulut emosi.
“Maksudmu kualat bagaimana Dir?” tanya Parjo sambil menawarkan sebatang rokok kepadanya.
“Entah karena teluh yang kita kirim atau memang sudah takdirnya, pada kenyataannya Pak Wongso memang sudah mati,”
“Terus apa maksudmu!” sahut Makmun lagi dengan suaranya yang lebih keras daripada sebelumnya.
“Meski kita sudah dapat melenyapkan Pak Wongso dan berhasil mendirikan kembali pos ojek di tanah Pak Wongso itu, toh tetap saja kita sepi penumpang. Menurutku sepinya penumpang itu bukan karena jampi-jampi dari Pak Wongso tapi karena maraknya ojek online,” celoteh Kodir sambil beringsut menjauh dari tempat duduk Makmun.
Lelaki beranak 3 itu merasa ngeri juga dengan kemarahan Makmun yang terkenal sebagai raja tega itu.
“Kalau menurutku Pak wongso benar. Pos ojek itu khan berada di tanah miliknya sendiri. Wajar saja kalau kita disuruh membongkar pos ojek itu. Lalu mengapa kita justru memusuhi Pak Wongso ketika beliau hendak menggunakan tanah tersebut?” sambung Kodir lagi.
Dari raut mukanya terlihat ada seberkas penyesalan yang menghantui lelaki yang sebenarnya tak setuju dengan usulan Makmun pada waktu yang lalu itu.
“Lelaki tua bangka itu memang sudah sepantasnya mampus! Mengganggu rejeki orang saja,” timpal Makmun masih dengan luapan kemarahannya.
Sementara itu teman-teman sesama tukang ojek yang malam itu berkumpul di rumak Parjo hanya terdiam saja. Masing-masing seperti tengah merenungi perkataan Kodir dan makmun barusan.
“Tapi pos ojek itu khan sudah ada sebelum Pak Wongso membeli tanah tersebut?” sahut Darto seperti hendak mencari pembenaran atas tindakan paguyuban tukang ojek yang telah bersepakat untuk mengenyahkan Pak Wongso secara halus.
“Itu benar! Tapi kita khan tidak punya hak atas tanah tersebut?” timpal Parjo sekali lagi sembari mengedarkan minuman.
“Halah! Tahu apa Kamu!” bentak Jambul sambil mengambil sekerat pisang goreng. Lelaki yang suka mabuk itu ikut-ikutan membentak Parjo tanpa sungkan. Padahal pertemuan rutin paguyuban tukang ojek itu diadakan di rumah Parjo.
“Sebaiknya kita kembali pada tujuan semula mengapa kita kumpul-kumpul malam ini,” sela Kurdi berusaha meredam perselisihan diantara sesama tukang ojek tersebut.
“Betul! Menurutku, agar ojek kita ramai penumpang lagi, bagaimana kalau kita adakan tirakatan,” sambung Makmun sembari mengedipkan mata ke arah Jambul untuk mencari dukungan.
“Setuju! Kata orang-orang di pasar, kalau mau dagangannya laris mereka biasanya mengadakan tirakatan di punden sana itu!” sahut Jambul bersemangat sambil telunjuknya menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Di mana itu?” tanya Parjo dan Kusni serempak. Keduanya seperti penasaran mendengar cerita Jambul barusan.
“Aku pernah mengantar Yu Cempluk tirakatan di sana. Pas Yu Cempluk semedi, tiba-tiba ada sehelai daun Preh yang jatuh di tangannya. Lalu daun itu disimpannya hingga kini. Dan sejak saat itu kios Yu Cempluk berubah jadi laris tak ketulungan,” ujar Makmun bersemangat.
Bagi tukang ojek yang mankal di pojokan pekarangan pak Wongso tahu persis siapa Yu Cempluk, Juragan pasar yang punya beberapa kios dan toko. Mereka semua juga paham bagaimana perjalanan hidup Yu Cempluk yang dulunyahampir saja gantung diri karena bangkrut.