“Betul! Menurutku, agar ojek kita ramai penumpang lagi, bagaimana kalau kita adakan tirakatan,” sambung Makmun sembari mengedipkan mata ke arah Jambul untuk mencari dukungan.
“Setuju! Kata orang-orang di pasar, kalau mau dagangannya laris mereka biasanya mengadakan tirakatan di punden sana itu!” sahut Jambul bersemangat sambil telunjuknya menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Di mana itu?” tanya Parjo dan Kusni serempak. Keduanya seperti penasaran mendengar cerita Jambul barusan.
“Aku pernah mengantar Yu Cempluk tirakatan di sana. Pas Yu Cempluk semedi, tiba-tiba ada sehelai daun Preh yang jatuh di tangannya. Lalu daun itu disimpannya hingga kini. Dan sejak saat itu kios Yu Cempluk berubah jadi laris tak ketulungan,” ujar Makmun bersemangat.
Bagi tukang ojek yang mankal di pojokan pekarangan pak Wongso tahu persis siapa Yu Cempluk, Juragan pasar yang punya beberapa kios dan toko. Mereka semua juga paham bagaimana perjalanan hidup Yu Cempluk yang dulunyahampir saja gantung diri karena bangkrut.
Dan tanpa banyak kata, akhirnya semua anggota paguyuban ojek yang malam itu kumpul di rumah Parjo sepakat untuk tirakatan di Punden. Waktunya malam Selasa Kliwon besok. Setiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Ada yang menyiapkan dupa dan kemenyan.
Ada pula yang bertugas menyiapkan setakir kembang ditambah 4 butir telur angsa. Parjo, Kodir dan Kusni diberi tugas menyiapkan nasi ingkung ayam cemani. Sementara Makmun bertugas membawa lampu teplok dan Jambul membawa tikar pandan.
Tempat yang disebut punden itu letaknya di dalam hutan. Untuk sampai di tempat itu harus menembus jalan setapak yang licin. Dan yang disebut punden itu adalah sebentuk batu yang disusun secara berundak-undak. Tingginya tak lebih dari tinggi orang dewasa. Mungkin pada jaman dahulu kala tempat itu adalah tempat peribadatan atau sejenis tempat meletakkan sesaji.
Malam sudah semakin larut ketika rombongan tukang ojek itu memulai semedinya. Asap dupa yang sedemikian pekat menambah angkernya suasana punden. Beberapa kali terdengar suara burung Ketitir yang mendirikan bulu roma. Bintang-bintang di langit yang biasanya cemerlang, malam itu tak satupun mengintip.
Entah mengapa bintang gemintang itu seperti tak ingin menyaksikan kepala-kepala yang tengah semedi dengan khusyuknya itu. Dan saking khusyuknya mereka semedi, tak seorangpun menghiraukan sergapan ratusan nyamuk hutan yang merubung mereka. Wajah masing-masing terlihat tegang. Jilatan api dari lampu teplok itu seperti tak sanggup menelan kegelapan hutan.