Scroll untuk baca artikel
religi

Rahasia Doa Robbana Hablana min Azwajina: Sejarah dan Tafsirnya

×

Rahasia Doa Robbana Hablana min Azwajina: Sejarah dan Tafsirnya

Sebarkan artikel ini
Doa Robbana Hablana min Azwajina
Ilustrasi

Doa ini memperkuat pesan bahwa keberkahan dalam keluarga baik dalam jumlah maupun kualitasnya merupakan anugerah yang patut dimohonkan kepada Allah.

Ayat “Waja’alnaa lil-muttaqiina imaama” yang berarti “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” mengandung makna dan harapan yang tinggi dalam kehidupan seorang hamba.

Doa ini mencerminkan harapan agar seorang Muslim tak hanya menjadi pribadi yang bertakwa, tetapi juga menjadi teladan dalam kebaikan bagi sesama yang juga berjalan di jalan ketakwaan.

Menurut Tafsir Al-Qurthubi, apabila seseorang dianugerahi keberkahan dalam harta dan anak-anaknya, maka hatinya akan dipenuhi ketenangan. Ia merasa damai bersama anak-anak dan keluarganya.

Ketika ia memiliki seorang istri, maka ketenangan itu semakin menyatu dalam dirinya karena adanya kecantikan, penjagaan diri, dan rasa kepemilikan yang menenangkan. Terlebih lagi, bila ia memiliki anak-anak yang menjaga ketaatan kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan-Nya untuk menjalani tugas-tugas dunia dan akhirat.

Keadaan ini membuat hati seorang mukmin tidak lagi resah dan gelisah. Ia tidak merasa perlu melirik keluarga orang lain, baik istri maupun anak orang lain. Pandangannya tidak jelalatan. Matanya tidak mencari-cari yang bukan miliknya.

Sebab, hatinya telah tenang bersama keluarga yang Allah karuniakan. Rasa tenteram ini adalah bentuk keberkahan yang nyata dalam rumah tangga seorang yang bertakwa.

Selanjutnya, makna “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah permohonan agar bisa menjadi panutan atau teladan dalam kebaikan.

Keteladanan ini hanya dapat lahir dari seseorang yang benar-benar bertakwa, yang kemudian dijadikan contoh oleh sesama orang yang juga menginginkan kebaikan. Keteladanan bukanlah sesuatu yang datang dari ambisi pribadi, melainkan dari buah ketakwaan yang konsisten dan tulus.

Dalam Al-Muwaththa, disebutkan sebuah hadis: “Sesungguhnya mereka adalah para imam yang dijadikan panutan.” Artinya, posisi sebagai imam atau teladan bukan hanya karena status atau jabatan lahiriah, tetapi karena mereka sungguh-sungguh mewujudkan sifat dan akhlak seorang pemimpin dalam kebaikan. Mereka menjadi penerang jalan dalam urusan agama bagi yang lain.

Al-Qusyairi Abu Al-Qasim, seorang guru dalam tarekat sufi, mengingatkan bahwa keimaman sejati bukanlah hasil dari pengakuan manusia, tetapi buah dari doa, taufik, kemudahan, dan anugerah dari Allah.

Menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa bukanlah klaim yang ditentukan oleh status sosial atau pengakuan publik, melainkan sebuah kehormatan spiritual yang hanya Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang ikhlas dan layak.