Scroll untuk baca artikel
Kolom

Rambut Halim Hade

Redaksi
×

Rambut Halim Hade

Sebarkan artikel ini

HALIM HADE meski telah berusia wajahnya masih licin, tidak tampak berkeriput. Rambutnya klimis, untuk tidak mengatakan gundul. Maaf, sekarang usianya sekitar tujuhpuluh tahun lebih. Tapi sosok, pikiran dan enerjinya masih selincah Generasi Z.

Padahal kala masih muda di Yogya, mahasiswa Filsafat UGM, rambutnya panjang sebokong. Rambut panjang lurus, yang kalau sekarang orang akan mengira rambut rebonding. Jadi tidak sekadar gondrong.

Kala itu saya juga di Yogya, 1977-an, acap bertemu dia bersama Emha Ainun Nadjib atau Linus Suryadi di Sanggarbambu. Saya kuliah di STSRI “Asri” dan tinggal di Sanggarbambu.

Saat saya pulkam Tegal, dan bertemu penyair Angkatan 66 Piek Ardijanto Soeprijadi, yang pertama beliau tanyakan: apakah pernah ketemu Halim HD. Saya jawab, “pernah, Pak, kenapa?”

Jawab Pak Piek yang juga guru Bahasa Indonesia saya di SMA Tegal, “wah beruntung sekali kamu, bisa ketemu Halim HD.”

“Memang kenapa, Pak?”

Jawab Pak Piek dengan raut menyimpan kagum, “Halim HD itu tulisannya panjang-panjang.”

Kala itu saya memang pernah melihat tulisan Halim Hade disertai fotonya yang berambut panjang, di koran yang saya lupa. Saya katakan ‘melihat’, sebab memang hanya saya lihat saja tulisan yang begitu panjang memenuhi satu halaman koran, tidak seumumnya esai.

Toh kalau saya paksakan membaca, saya tidak akan tahan mental dan pikir. Maklum tulisan seorang mahasiswa filsafat yang bacaan bukunya banyak dan berat-berat. Bergaul dengan banyak seniman, sastrawan, dosen dan budayawan nasional.

Hingga kini di era digital saya nyaman membaca status-statusnya yang nakal dan menggelitik. Misalnya, statusnya yang berjudul “Antara Tinju dan Tinja”.

Pemikirannya licin klimis seperti gundulnya, untuk menyebut praktis dan taktis. Kebanyakan menggelitik soal politik kebudayaan, dalam sudut pikir sosial-struktural. Kalau tidak salah ingat, dia mengajar sebagai dosen tamu di ISI Yogya.

Dia juga seorang orator yang jernih dan terstruktur dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya seputar kehidupan sosial seni budaya. Misalnya seperti yang ditunjukkan saat kami satu panggung di TBS Solo.

Dari Semarang baca puisi karya Moertidjono, Timur Suprabana, Soekamto Gullit dan saya. Dari Solo antaralain Sosiawan Leak dan Hanindawan, serta orasi cerdas Halim Hade. Sampai-sampai, usai acara Timur menawari Halim orasi di Semarang.

Entah mengapa rambut panjangnya kini diplontos. Mungkin karena kalau dibiarkan tumbuh akan tampak beruban putih. Tentulah orang akan mengira, dia tergolong manusia yang banyak berpikir untuk rakyat.

Oh ya, dia penggemar berat kuliner, termasuk kuliner Tegal. Dia juga ahli memasak. Jangan kaget kalau satu saat dia bertamu ke rumah anda, pertama yang dia lihat dapur anda.

Pernah saat bertandang di rumah Boedi S Otong di Asem Baris Jakarta Selatan 2000-an, dia ke dapur dan memasak. Lalu apa kata Margesti, isteri Boedi. “Masakannya sih enak, tapi dapur saya jadi kayak kapal pecah..!”***