Analisis Awalil Rizky

Reforma Agraria Harus Bermuara pada Keadilan Ekonomi

Awalil Rizky
×

Reforma Agraria Harus Bermuara pada Keadilan Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Awalil Rizky

Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute

CAPAIAN program Redistribusi Tanah selama era Pemerintahan Jokowi diklaim sangat bagus oleh Menteri Agraria, Hadi Tjahjanto pada hari Selasa lalu. Selama tahun 2015-2023 sudah mencapai 2,96 juta bidang. Padahal sejak tahun 1961 hingga 2014 atau selama 53 tahun, hanya mencapai 2,79 juta bidang. Jelas ingin disampaikan bahwa reforma agraria yang menjadi salah satu fokus Cawapres Gus Imin telah dijalankan dengan baik selama ini. 

Dikemukakan tentang tanah objek yang bersumber dari Eks Hak Guna Usaha, Tanah Telantar dan Tanah Negara Lainnya yang telah diredistribusikan sebanyak 2.269.859 bidang tanah dengan luas 1.432.928,91 hektar. Ditambahkan dengan tanah objek dari Pelepasan Kawasan Hutan mencapai 774.416 bidang tanah dengan luas 379.621,85 hektar.

Dalam berbagai kesempatan sebelumnya yang banyak dikemukakan adalah legalisasi aset atau pensertifikatan tanah yang sebenarnya memang sudah dikuasai oleh rakyat. Diantaranya berupa lahan transmigrasi dan lahan yang sudah puluhan tahun dikelola rakyat.

Target reforma agraria pada periode pertama yang dinyatakan dalam RPJMN 2015-2019 adalah 9 juta hektar. Terdiri dari 4,5 juta hektar legalisasi aset dan 4,5 juta hektar redistribusi tanah. Target eksplisit tak dikemukakan lagi pada RPJMN 2020-2024, seolah hanya melanjutkan era sebelumnya yang belum terpenuhi.

Sebenarnya telah diakui sejak awal berdasar Undang-Undang Pokok Agraria  tahun 1960 bahwa inti reforma agraria adalah upaya mengubah struktur ketimpangan kepemilikan atau penguasaan tanah. Pelaksanaannya terutama harus dijalankan dengan cara redistribusi.

Reforma agraria merupakan upaya menjamin terwujudnya keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Ditambahkan pula soalan penataan kepenyakapan dan sistem bagi hasil agar lebih berkeadilan. Dengan demikian, legalisasi kepemilikan tanah hanya merupakan pelengkap, dan tidak layak menjadi klaim keberhasilan.

Legalisasi atau pensertifikatan tanah yang sebelumnya memang sudah dikuasai oleh rakyat adalah tugas rutin Pemerintah. Kementerian ATR atau Badan Pertanahan memang harus menjalankan tugas itu tanpa perlu adanya reforma agraria. 

Dalam berbagai kajian dijelaskan bahwa reforma agraria perlu dikaitkan pada konteks soalan ekonomi sekaligus keadilan. Secara ekonomi, merupakan persyaratan transformasi ekonomi dari semula berbasis pertanian menjadi industri. Pertanian bisa didorong berkembang untuk menjadi landasan industrialisasi, jika struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang amat timpang dibenahi sehingga produktivitas meningkat.

Sektor pertanian yang berkembang dan petani yang lebih sejahtera mampu menjadi landasan industrialiasasi. Pertanian yang berkembang bisa menjadi salah satu sumber input industri dan menjamin ketersediaan pangan rakyat atau sumber daya manusia. Hasil ekspornya menambah devisa untuk kebutuhan pembiayaan Pembangunan. Dan yang tak kalah penting, petani yang makin sejahtera berperan pula sebagai pasar luas bagi hasil industri.     

Perlu diingat bahwa target reforma agraria pada tahun 1960an selain meredistribusi lahan kepada para petani, juga bermaksud mencegah penguasaan tanah berlebih. Akibat buruk dari penguasaan tanah berlebih oleh segelintir pihak telah dirasakan sejak jaman penjajahan, dan masih berlanjut hingga belasan tahun setelah merdeka.