Opini

Efek Domino Kampus Bergerak

Achmad Fachrudin
×

Efek Domino Kampus Bergerak

Sebarkan artikel ini
Achmad Fachrudin

Oleh: Achmad Fachrudin, Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta

MENGGELIATNYA civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia jelang puncak perhelatan Pemilu Serentak 2024, mengingatkan kita pada pemikir progresif Julien Benda (lahir 1867 di Paris, Prancis dan meninggal 1956 di Fontenay-aux-Roses, dekat Paris). Melalui buku bertajuk  ‘La Trahison des clercs’ (1927) dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pengkhianatan Kaum Intelektual” (1997), Benda mengeritik kaum intelektual yang bermetamorfosis menjadi politisi lalu berkhianat kepada masyarakat dan bangsanya.

Manakala manifesto intelektual yang dicetuskan  Benda tersebut digunakan sebagai pisau analisis untuk mencermati dinamika kaum akademisi dan intelektual Indonesia jelang Pemilu Serentak 2024, mungkin Benda harus merevisi tesisnya. Sebab kini makin banyak akademisi dengan berbagai profesi: dari mahasiswa, dosen, guru besar, profesor  hingga jajaran rektorat  di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta bergerak meneriakkan kepada penguasa agar kembali kepada jalan yang benar dalam mengelola kekuasaan.

Profesor sastra di Universitas Columbia  Edward W. Said mengakui, menyuarakan kritik terbuka dan kebenaran di tengah lanskap kekuasaan di bawah cengkraman oligarki tidak mudah. Bahkan mungkin bisa melahirkan serangan dan tudingan balik sebagai kelompok kepentingan partisan. Sekalipun sulit, pahit, dan beresiko tinggi, hati nurani dan kebenaran akademik harus ditegakkan. Itulah yang dilakukan civitas akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Diantaranya: Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Andalas Padang, Universitas Hasananuddin, Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sebagainya.

Berbagai orkestra opini dan petisi keprihatinan, dan perlawanan  kalangan kampus terhadap pemerintah yang berkuasa diarahkan kepada sejumlah isu seksi dan panas. Jika diklasterkan, isu dan narasi besar petisi tersebut menyangkut berbagai kebijakan maupun  praktik empirik yang dianggap telah keluar dari koridor konstitusi dan hukum; penyalahgunaan fasilitas negara dan uang negara (seperti bantuan sosial) berkedok pada kepentingan masyarakat kepatuhan; pelanggaran terhadap kepatutan dan etika bernegara; muncul kecendrungan politik dinasti dan oligarki; terkoyak dan tercabik-cabik proses demokrasi, khususnya terkait dengan proses Pemilu Serentak 2024, dan sebagainya.

Tak pelak, fokus petisi keprihatinan diarahkan terhadap dugaan sikap partisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang demikian vulgar pada Pemilu Serentak 2024. Dengan cara antara lain mendukung atau setidaknya membiarkan Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan putranya Gibran Rakabuming Raka yang saat itu belum genap 40 tahun lolos menjadi calon Wakil Presiden; mendeklarasikan dirinya akan  cawe-cawe pada Pemilu; nenyatakan boleh memihak dan kampanye untuk Peserta Pemilu sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara—sekalipun ucapan terakhir diralat. Sebagian kalangan malah menyebutkan, Presiden Jokowi melanggar Tap MPR No.  XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme