Scroll untuk baca artikel
Blog

Remy Sylado, Anies Baswedan dan Novel yang Belum Tuntas

Redaksi
×

Remy Sylado, Anies Baswedan dan Novel yang Belum Tuntas

Sebarkan artikel ini

Tetapi tentu saja penggunaan kata ganti orang pertama ini kadang juga cukup menyulitkan untuk bercerita sesuatu yang berada di luar tokoh utama sehingga pelaku (saya) harus memposisikan sebagai orang yang tengah bercerita pengalaman masa lalu, seperti dalam kalimat: “Kelak saya akan berkata bahwa pandangan Kotaro Takamura dan orang-orang Jepang yang lain adalah sisa kesombongan masa silam.”

Sayangnya, dalam Kembang Jepun Remy tidak konsisten menggunakan kata ganti orang pertama ini. Dalam artian, Remy kesulitan ketika akan menceritakan hal-hal yang berada di luar tokoh utama. Misalnya di awal bab enambelas tertulis: “Tjak Broto dan mantan istrinya yang mantan Kembang Jepun itu, kini kembali lagi ke Surabaya.”

Padahal dalam konteks keseluruhan buku dan bab, tokoh utama sedang menceritakan dirinya sendiri. Pertanyaannya kemudian, berarti siapa yang sedang menceritakan kisah itu

Ketidakkonsistenan ini tentu saja cukup mengganggu. Dengan demikian Remy berada di posisi ‘orang luar’, tidak sebagai pelaku (saya). Bagi yang sudah membaca novel Memoar Seorang Geisha karya Arthur Golden, Kembang Jepun akan menjadi pelengkap pengetahuan pembaca mengenai kehidupan geisha. Namun demikian, Kembang Jepun tentu saja lebih unggul bagi pembaca domestik karena kedekatan atau proximity sejarah dan kedekatan emosional.

Kembang Jepun bercerita tentang sosok Keke asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang dijual sejak usia sembilan tahun kepada seorang pemilik rumah geisha di Surabaya. Untuk mengelabui ‘pasar’, nama Keke kemudian diubah menjadi Keiko.

Saat itu Keke sempat menganggap bersatu raga dengan banyak lelaki adalah pekerjaan yang mulia. Seperti halnya geisha Jepang tulen, Keke pun menerima pekerjaan geisha sebagai kebenaran.

Kelak, wajah dan nama Keiko menyebabkan Keke harus menginjakan kaki ke Jepang setelah ‘Saudara Tua’ itu tunduk di bawah Sekutu. Padahal, saat itu Keke dalam status nikah dengan Tjak Broto, seorang wartawan andal yang korannya dibredel pemerintah Hindia Belanda.

Selanjutnya diceritakanlah kesulitan hidup Keke setelah pulang dari Jepang yang mendapatkan kenyataan suaminya sudah menikah dengan perempuan Sunda.

Melihat kenyataan itu Keke memilih balik ke Minahasa. Namun, di tanah kelahirannya pula Keke harus masuk lagi ke dalam perangkap ‘harimau’ lantaran di sana juga tengah terjadi pemberontakan Permesta.

Keke kembali menjadi bulan-bulanan seks, cuma kali ini dari laki-laki bangsa sendiri, tentara Permesta yang notabene satu suku, satu kebiasaan, dan satu budaya. Modal keterampilan bertani selama di Blitar–setelah keluar dari rumah geisha–akhirnya membawa Keke hidup mengasingkan diri di hutan selama 25 tahun.