Masyarakat sipil menuntut agar setiap perubahan regulasi yang berpengaruh besar terhadap tata kelola negara harus dibahas secara transparan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Salah satu ancaman terbesar dari revisi UU TNI ini adalah kembalinya konsep dwifungsi TNI yang pernah menjadi momok dalam era Orde Baru. Dalam sistem demokrasi, militer dan pemerintahan sipil harus memiliki batasan yang jelas.
Militer seharusnya tidak memiliki wewenang dalam urusan sipil karena karakter mereka yang hierarkis dan berbasis komando, yang bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang menuntut transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa, termasuk mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kardinal Suharyo, Romo Magnis Suseno, Alissa Wahid, dan Karlina Supelli, menegaskan bahwa penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil akan membahayakan demokrasi.
Mereka menilai bahwa prajurit TNI yang terbiasa bekerja dalam sistem hierarkis dengan kepatuhan mutlak terhadap komando tidak cocok untuk mengelola pemerintahan sipil yang memerlukan diskusi terbuka, perdebatan, dan pengambilan keputusan berbasis musyawarah.
Sejak revisi UU TNI mulai dibahas, gelombang protes dari mahasiswa dan akademisi semakin meluas. Di berbagai universitas ternama, seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Trisakti, mahasiswa bersama dosen menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi ini. Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) juga turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka agar DPR membatalkan revisi UU tersebut.
Di media sosial, tagar #TolakRUUTNI menjadi trending di platform X, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap potensi kembalinya militerisme dalam pemerintahan sipil.
Meskipun suara penolakan terus bergema, DPR tetap bersikeras mengesahkan revisi ini tanpa mempertimbangkan aspirasi publik.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang peduli terhadap demokrasi dan profesionalisme pemerintahan, saya menilai bahwa revisi UU TNI ini harus ditolak.
Tidak ada urgensi yang jelas dalam memperluas peran TNI di ranah sipil. Sebaliknya, kebijakan ini justru berpotensi merusak tatanan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Militer memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kedaulatan negara, tetapi mereka tidak seharusnya terlibat dalam urusan pemerintahan sipil.
Jika prajurit TNI aktif terus ditempatkan dalam jabatan sipil, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali ke masa di mana militer memiliki pengaruh politik yang dominan, seperti yang terjadi pada era Orde Baru.