Celakanya, anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran resmi rentan terhadap perdagangan manusia.
“Lantaran pengawasan praktik perdagangan manusia berkaitan dengan lintas departemen, maka saya kira bukan saja oknum BIN terlibat di dalamnya tapi juga melibatkan para penegak hukum lain seperti Kejaksaan, Kemenkumham, Polri bahkan TNI. Sebab, praktik operasi ilegal dari perdagangan ini mampu menghasilkan puluhan miliaran rupiah,” jelasnya.
Sementara, implementasi UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Andi katakan, dinilai tak begitu efektif menjerat pelakunya.
Ada pun yang membuat madulnya implementasi UU Nomor 21/2007, Andi menuturkan ada beberapa faktor. Pertama, faktor kesadaran korban.
“Mayoritas korban trafficking sadar, bahkan mau membayar puluhan juta untuk bisa diperdagangkan lantaran iming-iming gaji yang besar. Sebab, sekali pun mereka diperkerjakan sebagai PSK, mereka tetap mau saja, namun apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (usia 18 tahun ke atas), maka unsur-unsur trafficking yang harus diperhatikan adalah proses (pergerakan), modus, dan tujuan eksploitasi),” paparnya.
Faktor yang kedua yaitu lemahnya pengawasan pada pintu-pintu masuk-keluar yang menjadi lalu lintas migran transnasional. Lemahnya pengawasan ini, Andi duga karena faktor aparat imigrasi yang sengaja mengendurkan pengawasan maupun keterlibatan mereka dalam praktik trafficking.
“Terakhir, lemahnya law of inforcement (penegakan hukum) pada para tersangka yang menjadi pelaku trafficking, lantaran penerapan hukumnya tak berjalan maksimal. Karena pelaku-pelaku ini, boleh dibilang mafia transnasional yang punya jejaring dengan aparat penegak hukum guna memandulkan hukum yang berlaku,” tandasnya.