Scroll untuk baca artikel
Blog

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Rumah Para Petarung – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Tidak terpikirkah mesiumu salah sasaran? Ia tetap tertawa lebar, sebab di matanya rumahnya tidak pernah berubah, keluarganya baik-baik saja. Tapi: adakah jarak manusia yang satu dengan yang lain, keluarga.

Jika bagi setiap yang bernyawa, bangsa adalah kumpulan orang, keluarga-keluarga. Lalu bagaimanakah dengan rumah ini, arsitektur dan isi: dekonstruksi atau deesensiasi?

Comercial Break: iklan sabun, pasta gigi, parfum, hingga ketik reg spasi para paranormal, sampai kampanye politik.

Bersama dengung almari es dan kesibukan di dapur, campuran aroma kulkas yang dibuka dan aroma bumbu masakan dalam jilatan api membiru kompor gas.

Suara bibir itu juga, menggedor pintu-pintu: Makan bareng, bareng makan! Tidak boleh ada yang absen di meja makan! Karena kita hidup dalam kebersamaan..! Tak ada yang mangkir. Meski stik dram protes, mengikuti tuan mudanya.

Ikutan makan dengan lentingan seperti di atas perangkat dram. Si bibir mencibir, menyambar kelitan stik bandel. Si tuan muda pun ikutan bandel dengan protesnya: Kenapa bukan si penjagal? Kenapa bukan si koruptor? Bukankah mereka sama menimbulkan tandatanya, kenapa..?

Selalu tawanya melebar. Seperti ada kebanggaan, melihat si tuan muda dalam protes memutilasi ayam goreng.

Akan tetapi selalu ia merasa ada yang hilang. Selalu ia pun bertanya kepada pekerjaannya yang lebih berat dari tugas-tugas sebelumnya. Kemafuman pintu-pintu, tawa lebar anak-anaknya yang berlintasan.

Lukisan-lukisan di dinding, dan gebukan dram di studio musik. Senyum isterinya yang menempel di setiap dinding, melenting-lenting di seluruh ruang dingin ac. Ruang tamu dengan perabot raksasa bertaring antik. Ruang keluarga yang diseliweri robot-robot serdadu.

Kamar anak-anaknya yang dipenuhi bendera superpower atau poster-poster adidaya, kamar gencatan senjata persuami-isterian. Studio musiknya, yang tak diduga jenis kelaminnya. Selalu mereka tak bisa menjawab bahkan balik bertanya, kenapa kadang-kadang ia menghilang?

Sesering itu pula ia berusaha mencari dirinya. Di pekerjaannya yang lebih berat dari tugas-tugas sebelumnya. Di kemafuman pintu-pintu, tawa lebar anak-anaknya yang berlintasan. Pada lukisan-lukisan di dinding, dan gebukan dram di studio musik.

Pada senyum isterinya yang menempel di setiap dinding, melenting-lenting di seluruh ruang dingin ac. Di ruang tamu dengan perabot raksasa bertaring antik. Di ruang keluarga yang diseliweri robot-robot serdadu.

Kamar anak-anaknya yang dipenuhi bendera superpower atau poster-poster adidaya, kamar gencatan senjata persuami-isterian. Studio musiknya, yang tak diduga jenis kelaminnya. Selalu ia tak bisa menemukan dirinya dan tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, kenapa kadang-kadang ia menghilang?

Sesekali Si Anak yang menemukan…..
“Bukannya ini Ayah?”
“Mana, mana..?” Ia meraba diri sendiri, seperti mencari dirinya yang hilang.
“Ini…,” Si anak menempelkan tuding ke jidatnya.
Sebaliknya ia menekan dadanya, “bukan ini?”
“Bukan,” sergah anaknya, “ini…”
Ia pun merubah mendekap perut sendiri, “bukan juga ini..?”
“Itu pasti.”
Ia berubah lagi mencekal kemaluan, “bukan ini toh..?”
Si anak menjawab telak, “kadang-kadang…”

Jadi kesimpulannya, dirinya sebenarnya tidak di pekerjaannya yang lebih berat dari tugas-tugas sebelumnya. Di kemafuman pintu-pintu, tawa lebar anak-anaknya yang berlintasan. Pada lukisan-lukisan di dinding, dan gebukan dram di studio musik.

Pada senyum isterinya yang menempel di setiap dinding, melenting-lenting di seluruh ruang dingin ac. Di ruang tamu dengan perabot raksasa bertaring antik. Di ruang keluarga yang diseliweri robot-robot serdadu.