Berbagai rekam jejak digital menunjukkan upaya mendorong umat Kristen agar memilih Ahok menggunakan terminologi Alkitab yang sangat dikenal umat Kristiani untuk merujuk kepada sesama saudara seiman: anak Tuhan (anak huruf kecil). Sementara Anak Tuhan huruf besar merujuk kepada Tuhan Yesus Kristus. “Saya coblos nomor 3. Semoga menang. Saatnya Jakarta dipimpin anak Tuhan yang bersih.” “Ayo kita pilih anak Tuhan untuk Jakarta baru.” “Ayo dukung anak Tuhan yang akan mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta. Kita berdoa melalui Pak Ahok akan mengubah Jakarta dan Indonesia secara umum.” “Anda sudah bersinar di tengah kegelapan? Bersama Ahok anak Tuhan yang menempatkan diri sebagai agen perubahan.” “Dukung Ahok yang bebas korupsi biar ada anak Tuhan yang pegang gunung pemerintahan di DKI Jakarta.”
Selain itu, ada pula kampanye “Saya Muslim saya pilih Ahok” dan pembagian buku saku “Tujuh Dalil Umat Islam DKI dalam Memilih Gubernur DKI Jakarta” yang dibagi-bagikan tim kampanye Ahok. Apa semua ini bukan politik identitas?
Justru Anies tidak tahu-menahu dengan politik identitas tersebut. Bahkan Anies menyatakan siapa pendukung Ahok yang tidak di-sholat-kan, dirinya yang akan men-sholat-kan. Ahok-lah yang terpeleset lidah mengutip ayat Al-Quran yang bukan ranah keimanannya yang kemudian memicu kemarahan umat Islam. Lalu Anies yang selalu disematkan predikat intoleran? Adilkah? Padahal kita tahu bersama: pejabat publik lain di Pemerintahan Presiden Jokowi bahkan turut terlibat dalam terseretnya Ahok ke pengadilan. Wapres Ma’ruf Amin misalnya terlibat menginisiasi fatwa GNPF ulama tentang kasus Ahok dalam posisinya sebagai Ketua MUI saat itu. Begitu pula rekam jejak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Mahfud MD menunjukkan sikap yang memberatkan Ahok dalam berbagai statemen di media massa waktu itu. Namun, tidak ada yang menyematkan label intoleran kepada beliau berdua.
Sebagai orang yang pernah mengemban posisi pejabat publik pada dua posisi strategis—Mendikbud selama hampir dua tahun dan Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun–di Tanah Air dalam kurun waktu lama, total hampir tujuh tahun, Anies harus dinilai dari kebijakan publiknya selama tujuh tahun menjadi pejabat publik itu. Selama tujuh tahun itu, adakah kebijakan publik dari Anies yang intoleran dan radikal? Atau justru sebaliknya, fakta selama tujuh tahun itu, kebijakan publik Anies justru memperkuat kebhinnekaan yang ika, keragaman, tidak menghasilkan kegaduhan politik yang kontraproduktif, dan harmoni masyarakat DKI Jakarta dan Indonesia?