Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Saat Dialog & ‘Musu Asselenggeng’ Memainkan Peran Pengislaman di Sulawesi Selatan

Redaksi
×

Saat Dialog & ‘Musu Asselenggeng’ Memainkan Peran Pengislaman di Sulawesi Selatan

Sebarkan artikel ini

INI MERUPAKAN bagian ketiga dari tulisan saya tentang dinamika proses pengislaman di Sulawesi Selatan, sebagaimana dalam bagian pertama dan kedua, tulisan ini tetap saya kemas dalam catatan ringan, bukan tulisan yang super serius tentang sejarah.

Gerakan islamisasi di Sulawesi Selatan memasuki tahap kedua saat penyebaran Islam lebih banyak diperankan oleh Kerajaan dalam hal ini Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah memeluk Islam, maka Raja Gowa Sultan Alauddin menyebar utusan ke kerajaa-kerajaan lain, Gowa meminta kerajaan tersebut menerima Islam dan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan.

Selain motivasi agama tindakan Sultan Alauddin juga dilatar-belakangi sebuah perjanjian yang pernah dibuat oleh para raja di Sulawesi Selatan, isi perjanjian tersebut berbunyi: “Barangsiapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia berjanji untuk memberitahukan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya.”

Ajakan memeluk Islam ditanggapi baik oleh berbagi kerajaan tetangga. Mereka dengan sukarela menerima ajakan Kerajaan Gowa, seperti Sawitto, Balanipa (kini mandar), Bantaeng, dan Selayar.

Kerajaan etnis Makassar dan Turatea juga menanggapi baik karena mereka sekutu dekat Kerajaan Gowa, seperti Kerajaan Galesong, Pattalassang, Bangkala, dan Binamu.

Sementara itu pada saat yang sama, kerajaan bugis tertentu khususnya Bone, Soppeng, dan Wajo menyatakan penolakan. Bahkan mereka membentuk persekutuan yang dinamakan tellung pocco’e. Persekutuan ini dimaksudkan untuk membendung serangan Gowa setelah mereka menolak ajakan Gowa untuk memeluk islam.

Penolakan tersebut tidak serta merta ditanggapi reaktif oleh Gowa. Sultan Alauddin sebagai raja gowa terus mengupayakan jalan damai, melalui pendekatan kekeluargaan terhadap Raja Bone X We Tenri Tuppu, akan tetapi We Tenri Tuppu menolak dan memilih tetap berpegang pada kepercayaan lama yang sudah dianut nenek moyangnya.

Penolakan ini menyebabkan Kerajaan Gowa tidak punya pilihan lain kecuali menyebarkan Islam lewat penaklukan untuk pengislaman atau disebut musu’ assellengngeng. Sebagai langkah awal penaklukan untuk pengislaman, Kerajan Gowa melakukan tindakan strategis dengan terlebih dahulu menduduki daerah-daerah di bagian barat, yang pertama diduduki adalah Sawitto di Pinrang.

Setelah menduduki Sawitto, maka Gowa kemudian dengan mudah menguasai Suppa dan mengislamkan Raja Suppa yang sebelumnya sudah beragama Kristen.

Penguasaan terhadap Suppa membuka jalan bagi Gowa untuk menaklukkan Sidenreng, pada akhirnya Sidenreng juga berhasil dikuasai. Di Sidenderng inilah pasukan Gowa bertemu dengan pasukan yang tergabung dalam aliansi tellung pocco’e. Peperangan sengit yang terjadi diantara kedua kubu tak bisa dihindarkan, perang ini kemudian dikenal luas dengan istilah “Perang Ajattapareng”.

Sayangnya dalam perang itu Kerajaan Gowa berhasil dipukul mundur oleh koalisi tellung pocco’e yang terdiri dari Bone, Wajo, dan Soppeng.

Walaupun kalah pada Perang Ajattapareng namun bukan berarti Gowa menyerah dalam proses pengislaman di Sulawesi selatan. Sebaliknya, Sultan Alauddin kembali mempersiapkan pasukannya dengan lebih matang.

Pada tahun 1608 Masehi persiapan dirasa sudah maksimal, sehingga pada tahun itu juga Gowa kembali melancarkan serangan terhadap beberapa kerajaan bugis yang menolak Islam. Serangan kali ini dilakukan dengan mendaratkan pasukan secara bersamaan di tiga daerah yakni Akkotongeng, Maroangin, dan Padaelo. Hasilnya beberapa kerajaan kemudian berhasil diislamkan yakni Akkotongeng, Kerajaan Rappang, Maiwa, Utting, Bulu’ Cenrana’e. Dengan demikian bisa disebut penaklukan untuk pengislaman jilid dua ini berhasil dengan baik.