Manmade disaster ini bisa kita kontrol dengan pengetahuan, teknologi, dan pengaturan tata ruang yang baik. Eksploitasi sumberdaya alam yang ugal-ulagan dan melanggar tata ruang adalah penyebab terjadinya berbagai bencana akibat ulah tangan manusia ini.
Sebenarnya, banyak jenis bencana lain yang disebabkan oleh ulah tangan manusia ini, termasuk perang, kelaparan, kemiskinan, dan lain-lain. Pandemi Covid-19 masih diperdebatkan, apakah bencana alam atau bencana buatan. Namun yang jelas, Covid-19 bisa kita kontrol dengan banyak cara, termasuk vaksinasi, penggunaan kekuasaan politik untuk mengendalikan mobilitas dan interaksi sosial, dan sebagainya.
Demikian juga bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim (climate change). Meningkatnya curah hujan, bergesernya pola iklim, hadirnya berbagai badai di dunia, dan lain-lain, adalah sebagian dari bencana akibat perubahan iklim. Bencana akibat perubahan iklim ini merupakan manmade disaster.
Multilayer Power untuk Mitigasi Bencana
Jika sejumlah bencana merupakan dampak dari ulah tangan manusia, mengapa banjir, longsor, kelaparan, perang, perubahan iklim, dan sebagainya masih terjadi? Mengapa upaya untuk mengontrol bencana itu sepertinya tidak dilakukan secara sungguh-sungguh? Mengapa otoritas kekuasaan politik sepertinya membiarkan ulah tangan-tangan yang menyebabkan terjadinya sejumlah bencana itu?
Di sinilah masalahnya. Ada kontestasi ide, konsep, paradigma, dan pendekatan dalam mengelola alam. Dalam sosiologi, ada pendekatan dalam menganalisis alam, yakni realisme dan konstruksionisme. Pendekatan realisme melihat alam untuk alam. Kerusakan alam dan lingkungan hidup dilihat sebagai persoalan alam itu sendiri.
Sementara pendekatan konstruksionisme memandang bahwa pengelolaan alam dan lingkungan hidup merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat. Masyarakatlah yang bisa menentukan bagaimana alam dan lingkungan hidup kita harus dikelola.
Karena itu, bencana akibat ulah manusia (manmade disaster) merupakan bencana sebagai dampak dari konstruksi kita terhadap alam, terhadap lingkungan hidup, dan terhadap kehidupan kita sebagai manusia.
Jika kita mengkonstruksi pengelolaan alam dengan pendekatan kapitalistik yang eksploitatif untuk memaksimalkan kapital misalnya, maka hasilnya adalah apa yang kita rasakan saat ini: bencana manmade ini selalu datang setiap tahun.
Sebaliknya, jika kita mengkonstruksikan pengelolaan alam ini secara seimbang dan memikirkan aspek keberlanjutannya, bisa jadi kita akan mampu mengendalikan bencana manmade ini. Yang menjadi tantangan adalah apakah otoritas politik kita akan mau melakukan transformasi pendekatan dari eksploitatif menuju keberlanjutan?