Scroll untuk baca artikel
Blog

Saat Makan Fast Food, Ingat Ada Orang yang Berdarah-darah

Redaksi
×

Saat Makan Fast Food, Ingat Ada Orang yang Berdarah-darah

Sebarkan artikel ini

KABAR tentang industri makanan cepat saji atau fast food dengan sistem waralabanya ternyata tidak serenyah daging ayam goreng di Ketucky Fried Chicken, seempuk burger di McDonald’s, atau sehangat keju leleh di Pizza Hut.

Industri fast food ternyata bukan hanya memusingkan negara berkembang yang begitu masif diserbu aneka lisensi makanan cepat saji tetapi juga membuat ketar-ketir Negeri Paman Sam yang mengekspor budaya massa tersebut.

Sudah menjadi isu global bahwa industri fast food telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan individu, regional, dan dunia. Selama ini juga industri fast food selalu dikaitkan dengan masalah eksploitasi anak-anak melalui belanja iklan yang besar dan gencar di media massa, kebijakan tenaga kerja dan upah murah, pemberangusan serikat kerja, masalah kesehatan terutama obesitas dan kematian, serta soal monopoli.

Bahkan di Amerika pemilik industri fast food dan rekanannya juga dapat mengontrol harga sehingga membuat sengsara peternak sapi, ayam, serta petani kentang.

Seperti ditulis Eric Schlosser dalam bukunya Fast Food Nation, banyak peternak kini tak berdaya dan tidak sedikit yang bangkrut karena terlilit utang.

Selama tiga dasawarsa terakhir (buku ini terbit sekitar 2004), fast food telah merembes ke semua celah dan ceruk masyarakat. Sebuah industri yang bermula dari kedai hotdog dan hamburger di California Selatan setelah Perang Dunia ini telah menyebar ke segenap penjuru negeri.

Fast food kini dihidangkan di restoran-restoran drive-in, stadion, bandara, kebun binatang, sekolah menengah, sekolah dasar, universitas, kapal-kapal pesiar, pesawat terbang, kereta api, dan kantin-kantin rumah sakit.

Hanya untuk fast food, warga Amerika sedikitnya mengeluarkan dana mencapai 110 miliar dolar per tahun pada 2001.

Budaya fast food juga ternyata telah merambah dan menyeragamkan budaya dunia.

Sosiolog dari Universitas Maryland George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society (2000) mengungkapkan konsep McDonaldisasi yang terinspirasi restoran cepat saji McDonald’s.

Menurut Ritzer, prinsip-prinsip dalam McDonaldisasi sebenarnya adalah komponen dasar dari sistem masyarakat modern. Namun, prinsip-prinsip tersebut dalam ruang praksis malah memperlihatkan irasionalitas.

Bahkan disebutkan McDonaldisasi malah melahirkan dehumanisme sistemik. Tesis Ritzer tersebut dapat dibuktikan dengan kenyataan di Amerika. Industri fast food identik dengan pekerja anak-anak yang dibayar murah dan tidak berdaya.

Para pekerja begitu gampangnya keluar masuk atau dipecat perusahaan dalam tiga atau empat bulan. Boleh saja, industri fast food di Amerika Serikat kini mempekerjakan beberapa angota masyarakat nelangsa. Mereka kerap mengajarkan tentang keterampilan dasar disiplin seperti tentang datang tepat waktu.

Namun, sikap mental industri fast food bila melihat isu yang berkaitan dengan pelatihan karyawan, serikat buruh, upah minimum, dan gaji lembur menunjukkan secara gamblang bahwa motif mereka menyewa kaum muda dan kaum miskin sama sekali bukan karena belas kasihan.

Industri fast food juga menyebabkan anak-anak di Amerika Serikat malas melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terutama di kalangan keluarga miskin. Mereka lebih memilih bekerja sebagai pelayan di restoran fast food. Toh, mereka dengan bekerja sebagai pelayan dapat membeli mobil yang menjadi dambaan anak muda Amerika masa kini.

Di Colorado, misalnya, anak-anak putus sekolah rata-rata pada usia 16 tahun. Mereka umumnya tergoda untuk bekerja di industri fast food.

Sekolah Horrison misalnya, siswanya yang mencapai 400 orang hanya 50 persennya saja yang melanjutkan kuliah sisanya direkrut restoran-restoran cepat saji, jaringan ritel, dan perusahaan telemarketing.