Persoalan hidup seperti menguraikan benang merah yang karut-marut. Hidup dalam ketakutan, tekanan psikologi, ancaman hoaks dan rasa curiga menjadi sebuah ketidakpastian yang akhirnya membuat kebenaran budaya, hidup dalam ruang sempit.
Apakah kita mulai kehilangan esensi budaya? Nilai yang sering kita kultuskan sebagai identitas dan jati diri bangsa. Naluri budaya yang meletakkan nilai-nilai etika dan estetika, seperti sebuah norma yang tidak lagi sejalan dengan tantangan zaman, yang harus dihadapi.
Replika peradaban mulai beranjak dalam konteks baru, meski harus diraba dengan morfem klasik, agar kita terkesan masuk di era globalisasi yang semakin modern.
Simbol dan istilah adalah fenomena yang membuat batasan zaman jadi berbeda. Kita menangkap revolusi ini dari bahasa-bahasa instan (adopsi teknologi), tanpa memperhitungkan peran linguistik.
Kita kehilangan norma, tetapi kita membiarkan peradaban yang menjawabnya. Istilah penyebaran pandemi covid-19, tercatat dan melahirkan literasi istilah yang beranak-pinak dalam pengembangan dan kemajuan iptek.
Kita merindukan sesuatu yang terasa hilang. Sesuatu yang membangkitkan keindahan seni, yang bergerak bebas di ruang budaya. Aroma rindu yang sebenar-benarnya seakan terhalang oleh tembok baja. Di balik tembok itu ada cahaya kebebasan yang menyerupai ruang kreatif, untuk tinggalkan segala cemas.
Kerinduan yang terpenggal, tersakiti, terkekang oleh alibi samar. Meski salah kaprah, tetapi ini menjadi pilihan untuk selamatkan mimpi, karena melewati dan menembusi tembok itu bagai menghadapi pasukan kapitalisme yang berlapis-lapis.
Mimpi yang diterjemahkan sebagai ruang abstrak, sebagai kembang tidur dan sulit terwujud. Kecuali mimpi itu menjadi isyarat metafisik yang akan terjadi di balik kekuatan paranormal atau indigo. Meski mimpi itu tidak harus terwujud, masih ada harapan untuk bertahan, walaupun dengan napas yang tersengal-sengal.
Adakah angan dari riuhnya angin untuk meraih kembali kenangan emas dan manis, yang tidak sekedar utopia, tidak sekedar retorika, tidak sekedar ilusi? Meletakkan sebuah makna, yang mungkin kini terpendam, terkubur, sudah usang, hanyalah selintas potret untuk tetap bersikap bijak dan seolah-olah memang tampak bijak.
Membaca kembali –holopis kuntul baris– sebuah istilah yang mungkin kelihatan asing bagi generasi masa kini, tetapi perlu diteladani serta dipelihara oleh sebuah masa yang menyatukan kemajemukan dan marjinalitas suku bangsa kita.
Sikap bergotong-royong adalah cerminan yang mengadopsi makna Pancasila, sekaligus sebagai sikap religiusitas suku adat, turun-temurun untuk tetap mempertahankan kemurnian budaya bangsa. Apakah ini hanya dianggap sebuah mantra untuk mengukuhkan Pancasila tetap berdiri tegak, di tengah hiruk-pikuk yang mengatasnamakan nasionalisme?