Scroll untuk baca artikel
Kolom

Salah Kaprah di Ruang Kreatif Budaya

Redaksi
×

Salah Kaprah di Ruang Kreatif Budaya

Sebarkan artikel ini

Kita merindukan sesuatu yang terasa hilang. Sesuatu yang membangkitkan keindahan seni, yang bergerak bebas di ruang budaya. Aroma rindu yang sebenar-benarnya seakan terhalang oleh tembok baja. Di balik tembok itu ada cahaya kebebasan yang menyerupai ruang kreatif, untuk tinggalkan segala cemas.

Kerinduan yang terpenggal, tersakiti, terkekang oleh alibi samar. Meski salah kaprah, tetapi ini menjadi pilihan untuk selamatkan mimpi, karena melewati dan menembusi tembok itu bagai menghadapi pasukan kapitalisme yang berlapis-lapis.

Mimpi yang diterjemahkan sebagai ruang abstrak, sebagai kembang tidur dan sulit terwujud. Kecuali mimpi itu menjadi isyarat metafisik yang akan terjadi di balik kekuatan paranormal atau indigo. Meski mimpi itu tidak harus terwujud, masih ada harapan untuk bertahan, walaupun dengan napas yang tersengal-sengal.

Adakah angan dari riuhnya angin untuk meraih kembali kenangan emas dan manis, yang tidak sekedar utopia, tidak sekedar retorika, tidak sekedar ilusi? Meletakkan sebuah makna, yang mungkin kini terpendam, terkubur, sudah usang, hanyalah selintas potret untuk tetap bersikap bijak dan seolah-olah memang tampak bijak.

Membaca kembali –holopis kuntul baris– sebuah istilah yang mungkin kelihatan asing bagi generasi masa kini, tetapi perlu diteladani serta dipelihara oleh sebuah masa yang menyatukan kemajemukan dan marjinalitas suku bangsa kita.

Sikap bergotong-royong adalah cerminan yang mengadopsi makna Pancasila, sekaligus sebagai sikap religiusitas suku adat, turun-temurun untuk tetap mempertahankan kemurnian budaya bangsa. Apakah ini hanya dianggap sebuah mantra untuk mengukuhkan Pancasila tetap berdiri tegak, di tengah hiruk-pikuk yang mengatasnamakan nasionalisme?

Pancasila itu adalah cakrawala dan akar budaya dari semua kemajemukan bangsa. Bukan hanya sebuah slogan untuk mempresentasikan jargon politik.

Membangun sikap dalam menumbuh-kembangkan peran budaya, bukanlah persoalan yang mudah. Permasalahannya, karena ruang kreatif budaya terasa makin sempit, meskipun makin pesatnya pertumbuhan literasi bahasa. Di satu sisi, kemajuan iptek sering dijadikan solusi dari segala kebuntuan kreasi.

Sayangnya, ini menjadi lahan basah untuk tumbuhnya isu-isu hoaks yang membunuh karakter budaya. Salah kaprah menjadi sebuah keberanian dari ketakutan kita untuk meletakkan nilai-nilai fundamental budaya.

Berbagai cara untuk mengekspresikan kritik membangun, dianggap sebagai ancaman atau provokasi. Yang kadang menjadi buah simalakama, kreativitas ini kadang dihubung-hubungkan dengan sebuah gerakan yang berbau radikalisme dan ekstremisme. Inilah kekacauan dari sikap cemas yang menjadi virus dalam hakiki budaya. Dampak terbesar menjadi kenyataan pahit dalam mematikan karakter manusia.

Kemana kita harus pergi? Lisan bukanlah lagi seperti corong untuk meluruskan kemerosotan nilai demokrasi. Puisi bergerak bebas dan liar, hanya untuk memuaskan mata.

Bukan untuk memajukan seni yang menjadi kaki-tangan budaya. Sesungguhnya kreativitas karya tidak harus berharap apresiasi, harus tumbuh secara alami. Karena budaya ruang hidupnya selalu dinamis.

Ruang hidup budaya adalah berkembangnya kontemplasi pemikiran manusia menuju kesempurnaan. Pemikiran sebagai entitas (wujud) untuk selalu beranjak dari ketidakmampuan, ketidakpastian, ketidaksempurnaan akal manusia menuju hakiki kebenaran dan keadilan. Lalu, bagaimana solusi terbaik dari segala kebuntuan ini?

Salah satu cara, apakah makna –Holopis Kuntul Baris- sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan masa? Sedikit mengutip gagasan yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat (antropolog), bahwa budaya memiliki unsur-unsur berupa gagasan dan rasa, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.